Pondok Pesantren Putera Ibnul Amin pemangkih
Pondok pesantren ini terletak di desa Pamangkih, kecamatan Labuan Amas Utara, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, Indonesia. Pondok Pesantren Ibnul Amin Pamangkih didirikan secara resmi pada tanggal 11 Mei 1959 M / 22 Syawal 1378 H. Pendirinya adalah seorang ulama dari masyarakat Pamangkih yang bernama K.H.Mahfuz Amin bin Tuan Guru H. Muhammad Ramli bin Tuan Guru H. Muhammad Amin.
K.H. Mahfuz Amin, tokoh penting dalam pendirian Pesantren Pamangkih.
Cita-cita untuk mendirikan Pondok Pesantren oleh KH.Mahfuz Amin berawal dari melihat pendidikan agama atau pengajian yang diselenggarakan di langgar-langgar terlalu memakan waktu. Di mana seseorang untuk bisa menamatkan Ibnu Aqil dalam bidang Nahwu / Syaraf atau menamatkan Fathul Mu’in dalam bidang Fiqih, ia harus belajar puluhan tahun. Di samping itu,ia juga melihat para santri atau pelajar yang tinggal di langgar kadang-kadang melebihi kapasitas tampung langgar yang dihuni, sehingga mengakibatkan langgar sebagai tempat belajar juga sebagai tempat tidur, tempat makan dan bahkan kadang-kadang sebagai tempat memasak.
Hal lain lagi adalah ia melihat seorang Tuan Guru (Kyai) kurang memberikan kesempatan kepada muridnya yang lebih pandai untuk bisa menerapkan ilmunya dengan mengajar kitab-kitab kecil kepada murid-murid yang pelajarannya lebih rendah. Dengan demikian akibatnya seorang Tuan Guru terlalu lelah, karena dari kitab yang paling kecil hingga kitab yang paling besar terpaksa Tuan Guru sendirian yang mengajarkannya kepada seluruh muridnya. Dari beberapa hal tersebut itulah, timbul keinginan dari K.H. Mahfuz Amin untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan agama yang efektif sebagai upaya mencerdaskan ummat, khususnya generasi penerus bangsa. Atas wasiat almarhum orang tuanya yaitu Tuan Guru H. M. Ramli yang mewasiatkan untuk lebih memajukan pelajaran pelajaran agama, juga atas nasihat dan petunjuk dari seorang gurunya KH. Abu Bakar Tambun, agar beliau mendirikan pondok pesantren.
Maka pada tanggal 23 Oktober 1958 (8 Shafar 1378 H) didirikanlah sebuah pondok pesantren yang waktu itu dikenal dengan nama Pondok Hulu Kubur. Nama Pondok Hulu Kubur tidak tertulis di papan nama, hanya mendapat sebutan di lidah orang umum. Nama Pondok Hulu Kubur tidak lama dipakai sebagai nama terhadap pesantren yang baru lahir ini, karena pendirinya yaitu KH. Mahfuz Amin telah mendapatkan sebuah nama pilihan yaitu “Ibnul Amin”. Nama Ibnul Amin tersebut dipilih sebagai penghormatan kepada almarhum kakek KH. Mahfuz Amin sendiri. Karena KH. Mahfuz Amin sebagai pendiri dan pendidik di pondok pesantren ini telah mendapatkan ilmu dari ayahnya yaitu Tuan Guru H.M. Ramli, sedangkan ayahnya juga belajar dari orang tuanya yaitu Tuan Guru H.M. Amin. Oleh karena itulah pesantren diberi nama Ibnul Amin yaitu sebagai peringatan terhadap kakeknya yang telah berjasa kepada orang tuanya dan KH. Mahfuz Amin sendiri.
Pengelolaan Pondok Pesantren Ibnul Amin pada mulanya ditangani langsung oleh KH. Mahfuz Amin sendiri yang dibantu oleh beberapa orang santri senior. Setelah KH. Mahfuz Amin meninggal tahun 1994 (1415 H), kepemimpinan pondok pesantren sampai sekarang dipercayakan kepada KH. Muchtar HS, yaitu seorang muridnya yang merupakan santri Ibnul Amin angkatan pertama.
Perkembangan Pondok Pesantren
Sejak berdirinya Pondok Pesantren Putera Ibnul Amin secara resmi pada tanggal 11 Mei 1959 / 22 Syawal 1378, KH. Mahfuz Amin sebagai pencetus dan pendiri sekaligus sebagai pengasuh dan pengajar selalu berusaha untuk mengembangkannya dan membesarkannya, baik fisik maupun sistem pendidikan dan pengajarannya. Di awal berdirinya, Pondok Pesantren Putera Ibnul Amin hanya memiliki 12 kamar asrama untuk tempat mukim 9 orang santri, dengan fisik bangunan yang sangat sederhana yang di malam hari diterangi lampu minyak tanah. Sedangkan kegiatan belajar mengajar masih dilakukan di rumah KH. Mahfuz Amin. Pada tahun 1959 Pondok Pesantren Putera Ibnul Amin membangun 4 lokal belajar dan dua ruang kecil untuk tamu dan kantor. Sejak itu kegiatan belajar mengajar dipindahkan dari rumah pribadi KH. Mahfuz Amin ke tempat baru ini. Kemudian dengan bertambahnya santri baru, asrama yang ada sudah tidak mampu menampungnya. Maka pada tahun 1960, kembali dibangun sebuah asrama dua tingkat (dua lantai) dari bahan kayu yang cukup besar dan dapat menampung santri lebih banyak. Dengan demikian segala kegiatan pesantren sudah dapat dilaksanakan dalam satu lingkungan komplek, kecuali salat berjamaah yang masih dilaksanakan di langgar Tuan Guru H.M. Ramli (ayah KH. Mahfuz Amin).
Dari keinginan KH. Mahfuz Amin agar segala bentuk kegiatan harus berada dalam satu kawasan demi untuk mempermudah pengawasan terhadap kedisiplinan santri dalam segala aspek kehidupan mereka, kemudian dibangun Mushalla kecil berukuran 10 m X 10 m dari bahan kayu. Berkat semagat yang tinggi untuk membangun dan ketekunan KH. Mahfuz Amin serta atas kerja sama yang baik dengan semua pihak, pada tahun 1972 komplek Pondok Pesantren Putera Ibnul Amin berdiri dengan beberapa banguanan asrama yang terdiri dari 52 kamar, 2 buah rumah guru, satu mushalla berukuran 10 m X 10 m. Pada waktu itu santri yang mukim sebanyak 251 dengan 16 orang guru.
Santri
Santri yang mukim dan belajar di Pondok Pesantren Putera Ibnul Amin Pamangkih pada tahun 2005 berjumlah 1400 orang santri. Mereka berasal dari berbagai daerah di Kalimantan, seperti Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Utara, Tabalong, Tapin, Banjarmasin, Kotabaru, Marabahan, Sampit, Kapuas, Palangkaraya, Pontianak, Samarinda, Balikpapan, Tenggarong dan daerah-daerah lain. Disamping itu banyak juga santri yang berasal dari luar pulau Kalimantan, seperti dari Sulawesi, Jawa Timur, Sumatera Selatan, Jambi dan lain-lain.
Riwayat KH Mahfuz Amin Pendiri PP Ibnul Amin
KH. Mahfuz Amin putra tuan Guru H. Muhammad Ramli putra Tuan guru H. Muhammad Amin. Ia adalah putra pertama dari Sembilan bersaudara, pasangan Tuan guru H. Muhammad Ramli dan Hj. Malihah, Hj. Rapiah dan terakhir Tuan guru H. Muhammad Zuhdi.
Mahfuz Amin dilahirkan di Pamangkih pada malam selasa tanggal 23 Rajab 1332 (sekitar tahun 1914 M) dirumah orang tuanya yang sederhana diasuh dan dibesarkan di bawah pengawasan sehingga menjadi orang yang mulia dan banyak berjasa.
Ia pertama kali dididik dan dibesarkan ditengah-tengah keluarga yang religius, sebab orang tuanya yang bernama H. Muhammad Ramli adalah ulama berpengaruh dan dikenal mempunyai ilmu agama yang dalam. Tidak heran kalau di Pamangkih, orang tua dari Tuan guru H. Muhammad Ramli yakni Tuan guru H. Muhammad Amin di sebut Tuan guru besar, sedangkan Tuan guru H. Muhammad Ramli dikenal dengan Tuan guru Tuha, karena ditangannyalah kata putus dalam berbagai persoalan, baik yang menyangkut bidang agama maupun problem sosial kemasyarakatan lainnya.
Dalam usia 6 tahun, ia sudah belajar al-Qur’an tahap pertama, di bawah pengajaran langsung orang tuanya. Pendidikan formal ia tempuh di volk School selama tiga tahun di Pamangkih yang kemudian dilanjutkan ke Vervolk School selama 2 tahun di Desa Banua Kupang.
Selain itu beliau tidak pernah belajar di sekolah formal lainnya. Untuk selanjutnya ia menempuh pendidikan nonformal berupa pengajian agama yang diberikan oleh orang tuanya sendiri disamping mengikuti pengajian dengan Tuan guru Muda H. Hasbullah putra H. Abdur Rahim di dekat Mesjid Jami’ Pamangkih. Selain itu ia jiga belajar dengan Tuan guru H. Muhammad Ali Bayangan dan Tuan guru H. Mukhtar di Desa Negara.
Tahu 1938, saat berusia 24 tahun ia berangkat ke tanah suci mekkah al-Mukarramah untuk menunaikan ibadah haji seraya memperdalam ilmu pengetahuan, khususnya ilmu agama.
Diantara guru-gurunya selama di kota Mekkah antara lain adalah :
- Syeikh Yasin al-Fadani
- Syeikh Abu Bakar Putra Sulaiman
- Syeikh al-‘Allamah Abdul Qadir al-Mandili
- Al-‘Allamah asy- Syeikh H. Muhammad Anang Sy’arani
- Syeikh Abdurrahman, Kelantan
- Syeikh Muhammad Nuh, Kelantan
- Syeikh Muhammad Ahyad putra Idris alpBughuri
- Syeikh Abdul Kaliq, Perak, Malaysia
- Syeikh KH. Abdul Jalil al-Maqdisi
- As-Sayyid Alawy putra Sayyid Abbas al-Maliki
- As-Sayyid Amin Kutbi
- Syeikh Hasan Muhammad al-Masysyath
- Syeikh Mukhtar, Ampenan
Setelah 3 tahun menimba ilmu pengetahuan di Tanah Suci, ia pulang ke tanah air dan tepat pada tanggal 8 Oktober 1941 tiba kembali di kampung kelahirannya. Sejak saat itu ia mulai mengajar agama sambil terus belajar di samping aktif dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan.
Setelah hamper 20 tahun berkecimpung dimasyarakat, bermacam pengetahuan dan pengalaman telah diperoleh, pahit manisnya kehidupan telah dilalui, namun cita-cita ingin menyebarkan dan ingin meninggikan agama Allah tidak pernah padam. Hingga pada saatnya pada tahun 1958, fajar cita-cita yang diidamkan mulai tebit bersinar di Desa Pamangkih. Lembaran-lembaran kitab kuning yang mulai siran kembali cerah dengan berdirinya sebuah pondok pesantren yang bernama “Ibnul Amin” yang belum pernah sepertinya di Kalimantan pada umumnya.
Tidak berhenti sampai disitu, pada tahun1975 ia juga membangun pondok pesantren Ibnul Amin Putri untuk mencetak kader-kader muslimah yang shalehah.
Ia adalah sosok pribadi yang tidak pernah menyerah dalam berjuang baik dalam masa pendidikan maupun dalam menyebarkan ilmu pengetahuan dan ide-idenya. Teman belajarnya ketika masih belajar dengan orang tuanya diantaranya Tuan Guru H. Mursyid atau lebih dikenal dengan H. Kabau (orang tua dari Drs. Sa’dillah Mursyid MPA, mantan Mensekkab dan Mensesneg) dan Tuan Guru H. Abdul Aziz, adiknya sendiri.
Kelebihannya terletak pada ketekunan dan kerajinan dalam mengulang kaji sendiri (Muthalaah) , disamping itu pula beliau adalah orang yang sangat menghargai waktu.
Walaupun ditengah kesibukan beliau dalam bekerja, karena tenaga dan waktu beliau hampir semua tercurah pada pembangunan dan memajukan pesantren yang beliau asuh, namun tidak berarti kesempatan menulis satu dua buku untuk manunjang pelajaran di pondok beliau tertutup.
Terbukti ada 3 karya tulis beliau, satu yang menjadi pokok bahkan yang pertama kali harus dipelajari santri-santrinya ialah :
Kitab tashrib atau dikenal dengan tashrifan. Walaupun tidak dicetak karena untuk membiasakan santri menulis dalam tahapan pertama. Kitab tashrif ini selalu disalin oleh santri yang baru belajar.
Ringkasan sharaf yang berbahasa arabdengan nama : Mukhtasar Hallul Ma’qudi fi Nazhmil Masqud.
Untuk memudahkan santrinya dalam belajar ilmu falaq beliau ringkaskan satu kitab falaq yang besar yang diberi nama : Al-Mahlulatu fi Mukhtasari Manaahijil Hamiidiyyah.
Disamping berkiprah dibidang keagamaan beliau juga sangat memperhatikan usaha mencerdaskan anak-anak di desanya. Hal ini terbukti dengan peran beliau yang sangat besar dalam membangun sekolah umum (SR) pada tahun 1951.
Beliau menaruh perhatian secara khusus dalam bidang ilmu falaq, baik mempelajari maupun mengajarkannya yang mana pada akhirnya beliau dikenal orang sebagai ahli dibidang ilmu falakiyyah.
Keberhasilannya dalam belajar dikarenakan beliau sangat menghormati ilmu yang didapat dari gurunya dalam arti penghormatan yang benar dalam mengamalkan ilmu yang diperoleh tersebut. Beliau berhasil menularkan ilmu kepada murid-muridnya yang kini telah tersebar dimana-mana. Kalu dilihat masa belajar beliau memang relative singkat. Tiga tahun di Mekkah dan beberapa tahun dalam asuhan orang tuanya, tetapi karena kesungguhan beliau dalam mempelajari, menghormati dan mengamalkan ilmu yang beliau dapat sehingga tampaklah keberkatan dan manfaat ilmu pengetahuan yang dilikinya.
Beliau juga sangat menghormati guru-guruny, karena kalu seseorang sudah menjadi terhormat dalam hidupnya kita selalu dituntut untuk selalu menghormati guru, karena guru adalah orang yang mengangkat kita dari bumi ke langit sedang orang tua kita menurunkan kita dari langit ke bumi. Beliau selalu menziarahi guru-guru yang masih hidup minimal setahun sekali dan sesudah meninggal beliau berziarah ke makamnya.
Hal lainnya yang menonjol dari kepribadiannya adalah kasih sayangnya dengan para santri. Beliau menginginkan santrinya rajin dalam belajar hingga berhasil dan dapat mengamalkan ilmu yang diperolehnya serta pandai dalam menstranfer ilmunya kepada orang lain.
Siang dan lamam selalu berada di tengah-tengah santrinya. Kalau ada yang bermain-main, beliau tegur dengan saran dan teguran yang lemah lembut diiringi dengan nasehat, dan Nampak kegembiraan dimukanya ketika melihat santrinya yang sedang belajar.
Beliau sangat dikenal dikalangan ulama, khususnya di Kalimantan. Di samping selalu datang berkunjung kepada mereka, tak jarang kesempatan itu digunakan untuk bertukar pikiran atau mudzakarah, lebih-lebih pada masalah-masalah keagamaan. Beliau juga cukup dekat dan akrab dengan KH. Hasyim asy-Ari, Jombang serta KH. Abdush Shomad Mufti kerajaan Pontianak.
Beliau mempersilahkan siapa saja pejabat yang mau datang, menteri, dirjen, gubernur sampai bupati pernah bertandang ke pesantren. Kalau mereka ingin meberikan bantuan untuk pondok, beliau dengan senang hati mau menerimanya, selama “tidak mengikat”. Walaupun demikian beliau tidak pernah memohon kepada mereka dan tetap menjaga jarak. Prinsipnya adalah selama pergaulan itu tidak mengganggu perjuangan beliau untuk kemajuan pondok.
Kepada para kadernya beliau berpesan agar hidup untuk menghidupi pondok bukan justru hidup di pondok. Beliau memang sosok pribadi istimewa, istiqamah, disiplin, tawadhu’ dan disertai semangat ikhlas berkorban. Tidak ada keinginan menggapai kemewahan duniawi. Bicara masalah dunia saja beliau mengantuk. Untuk kepentingan agama, tidak segan-segan beliau korbankan kepentingan sendiri. Beliau tebang kebun cengkeh milik pribadi demi pembangunan Pondok Pesantren Ibnul Amin Putri. Bahkan selama hidupnya, beliau tidak mempunyai kendaraan pribadi.
Demikianlah, selama 37 tahun berjuang untuk membangun serta membina pondok pesantren Ibnul Amin dan santri-santrinya, dari hari kehari lembaran hidupnya dihabiskan untuk lii’laai Kalimaatillaah hingga usai senja.
Keuzuran tampak bertambah, sakit paru-paru beliau tambah hari tambah parah meskipun pengobatan secara intensif selalu diupayakan. Dari RSI Banjarmasin, Surabaya bahkan sampai Jakarta. Sampai pada saatnya, hari minggu, jam 08.45 tanggal 21 Dzulhijjah 1415 H/21 Mei 1995 beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir dalam pangkuan anak istri dan murid-murid beliau dalam usia 82 tahun 4 bulan 28 hari.
Dikebumikan pada sore harinya dengan diantarkan oleh ribuan ummat islam ke tempat peristirahatan terakhir pada jam 15.00 di pemakaman umum Pamangkih bersampingan dengan orang tua beliau KH. Muhammad Ramli dan keluarga.
Pamangkih berduka, derai tangis pun pecah. Para santri seolah tak kuasa untuk bicara. Masyarakat terpana karena ditinggal oleh sang panutan yang sangat berjasa untuk dunia pendidikan, khususnya di Kalimantan, untuk selama-lamanya.(fay)