Menulis Syarah Burdah 162 Jilid
Ia seorang muqaddam Tarekat Tijaniyah yang mendirikan dan mengasuh lebih dari 60 zawiyah, pengasuh pondok pesantren, penulis buku agama, pengusaha, dan pendakwah.
Penampilannya selalu rapi dengan busana baju muslim serta peci putih di kepala dan bersarung. Dialah K.H. Ahmad Anshari bin Hasan Basri Al-Banjari. Pria kelahiran Banjarmasin pada 16 November 1956 ini dikenal sebagai pengusaha travel biro untuk pemberangkatan haji dan umrah. Dia juga seorang muqaddam tarekat Tijaniyah yang melayani lebih dari 60 zawiyah di Kalimantan, Bangka, dan Batam.
Selain itu, K.H. Anshari, demikian ia akrab disapa jama’ahnya, juga dikenal sebagai pendakwah. Namun dakwahnya sebatas sebagai menjadi khatib Jum’at, pengajian khusus, serta khutbah nikah. Sebab, ia lebih menitikberatkan membina umatnya, ikhwan Tijaniyah, di Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Bangka-Belitung, dan Batam. Satu lagi, K.H. Anshari juga dikenal sebagai penulis buku-buku keagamaan yang andal.
Sukses yang dicapainya sekarang tidak lepas dari didikan orangtuanya, H. Hasan Basri. K.H. Anshari, sebagai anak pertama dari enam bersaudara, diharapkan orangtuanya untuk menjadi pandu bagi adik-adiknya. Selain belajar mengaji kepada ayahnya, ia juga menjalani pendidikan sekolah dasar di SDN Melati Banjarmasin. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di tsanawiyah Pondok Pesantren Darussalam, Martapura.
Ketika naik ke tingkat aliyah, ia berguru kepada almarhum Guru Sekumpul, atau akrab dipanggil “Guru Ijai”, kemudian belajar kitab hadits Al-Arba’in kepada K.H. Syarwani Zuhri, yang sekarang mengasuh PP Albanjari di Balikpapan, juga kepada almarhun Tuan Guru Salim Ma’ruf, sebagai pemimpin PP Darussalam waktu itu. Namun belum selesai pelajarannya, Ahmad Anshari keluar, karena kekurangan biaya.
Ketika menganggur, Ahmad Anshari muda sempat ikut bekerja sebagai pendulang intan, dan pekerjaan kasar lain, sehingga pada suatu kali ada orang yang mengajaknya untuk bekerja di Makkah pada tahun 1975. Pikirnya, di Tanah Suci, selain bekerja, ia juga bisa belajar kepada para guru atau ulama di sana.
Pekerjaan pertama yang dilakukannya adalah sebagai penjaga Pom Bensin, dan berganti-ganti dengan pekerjaan kasar lainnya.
Hampir selama delapan tahun, ia bekerja dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain. Dan sempat pula ia belajar di Madrasah Shaulatiyah setahun. Tetapi karena beratnya beban pekerjaannya, akhirnya aktivitas sekolahnya berhenti, dan meneruskan pelajarannya kepada beberapa guru dan ulama secara penggal waktu.
Setelah berganti-ganti pekerjaan, Anshari muda akhirnya mendapatkan pekerjaan yang cocok, yaitu sebagai penjaga toko Arloji, yang akhirnya oleh pemiliknya ia diserahi sekaligus sebagai manajernya. Di toko arloji inilah ia bekerja hingga 13 tahun. Jadi sudah 20 tahun ia bekerja di Arab Saudi.
Di toko ini pula, banyak sekali kesempatannya untuk belajar secara otodidak dengan membaca kitab-kitab kuning usai bekerja. Kadang ia juga belajar kepada berbagai ulama yang ada di Saudi, seperti Sayyid Muhammad Al-Maliki, Habib Salim bin Abdurrahman Assegaf, serta beberapa ulama Tijani, seperti Syaikh Idris bin Muhammad Abid Al-Iraqi dan Syaikh Hassan Az-Zakani. Ia banyak sekali menerima ijazah atas buku-buku karya kedua ulama Tijani itu.
Di Saudi pula, Anshari mendapatkan jodohnya, yaitu Hajjah Risnawati binti Abdulmuthalib, yang waktu itu sedang melaksanakan ibadah haji bersama orangtuanya. Mereka kini dikarunia sembilan anak. Yaitu Haji Muhammad Raihah (Jakarta), Haji Abdul Nasir (Banjarmasin), Haji Toha (Banjarmasin), Haji Muhammad Zaini (Al-Azhar Mesir), Hajjah Ruqayah (Banjarmasin), Haji Muhammad Taufiq (Banjarmasin), Haji Fathi (Banjarmasin), Haji Hatim (Banjarmasin), dan Maftuh Ahmad (Banjarmasin).
Sedang istri keduanya, Hajjah Mariatul Aslamiah binti Ali, belum punya anak.
Shalat di Dalam Ka’bah
Pada tahun 1988, K.H. Anshari pulang ke Indonesia, dan pada tahun itu juga ia ditalqin K.H. Badri Masduki dari Probolinggo menjadi ikhwan Tarekat Tijani.
Namun, beberapa tahun di Indonesia sebagai pengusaha biro perjalanan haji dan umrah, ia seperti ada isyarat untuk kembali ke Saudi lagi. Akhirnya pada tahun 1990, ia kembali ke Saudi dan bekerja di toko arloji itu.
Tahun itu pula, ia bertemu Syaikh Idris, ahli hadits asal Maroko, muqaddam Tarekat Tijani, dan kemudian ditalqin menjadi muqaddam Tijani.
Begitu juga ketika ia bertemu Syaikh Hassan Az-Zakani, ulama terkenal yang menjadi salah satu guru Sayyid Muhammad Al-Maliki, seperti ada isyarat tertentu. Ia mendapatkan surat dari Syaikh Hassan Az-Zakani untuk bertemu di Makkah, sedang sebelumnya keduanya belum pernah bertemu dan berkenalan. Subhanallah, ketika keduanya bertemu, seperti teman lama yang lama berpisah. Di Baitullah, K.H. Anshari ditalqin kembali menjadi muqaddam oleh Syaikh Hassan Az-Zakani.
Sebetulnya, pada tahun 1991, K.H. Anshari sudah memutuskan untuk berhenti dari kerjanya di Makkah serta pulang ke Indonesia, tetapi ia tidak diperbolehkan oleh gurunya, Syaikh Idris. Pesannya, nanti akan ada isyarat kapan ia boleh pulang ke Indonesia.
K.H. Anshari mendirikan zawiyah dan majelis ilmu di kawasan Sulaimaniyah hingga 1995. Pada tahun 1995 itu juga, ia mendapat izin untuk pulang ke Indonesia. Bahkan, tidak tanggung-tanggung, Syaikh Idris sendiri yang mengantarnya sampai ke rumah di Banjarmasin. Sedang pada waktu itu, gajinya di toko arloji akan dinaikkan 100%. Namun iming-iming tidak menggoyahkannya untuk mematuhi perintah gurunya pulang ke Indonesia. Tugas menjaga zawiyah diserahkan kepada K.H. Hasbullah Al-Banjari hingga saat ini.
Pada saat itu, bulan Agustus-September 1995, Syaikh Idris sempat satu bulan di Indonesia, sehingga berhasil bertemu para muqaddam dan ikhwan di berbagai kota di Indonesia. Syaikh Idris sempat menalqin ribuan orang Indonesia menjadi ikhwan atau muqaddam Tarekat Tijani.
K.H. Anshari merasa mendapatkan nikmat besar selama tinggal di Makkah, yaitu, ketika Baitullah direhab pada 1995, ia mendapat izin dari Kerajaan Saudi menjadi salah satu orang yang diperkenankan masuk ke dalam Ka’bah. “Di situ saya shalat sunnah empat rakaat, dan merasakan begitu dalam pengalaman ruhani yang sulit diceritakan dengan kata-kata,” ujarnya.
Pengasuh Pondok
Di Indonesia, K.H. Anshari mendirikan usaha biro perjalan dengan bendera “PT Bhuana Etam Lestari”, yang beralamat di Jalan Simpang Tiga Cempaka Sari 19 RT 24 Banjarmasin 70117, yang kemudian berkembang lagi menjadi ”Muslimun Travel”, yang dijalankan anak-anaknya.
Salah satu hasil dari usahanya ini, ia mendirikan Yayasan Al-Anshari, yang hasilnya di antaranya adalah mendirikan Ma’had Al-Anshari, yaitu pondok pesantren untuk anak-anak balita khusus untuk menghafal Al-Qur’an. Di pondok ini para santri dididik di asrama dan dibiayai secara gratis, yaitu makan minum, penginapan, serta keperluan sekolah, hingga pakaian serta keperluan sehari-hari, seperti susu dan perawatan kesehatan.
Ketika didirikan pada tahun 2009, ada sekitar 100 anak, tetapi dalam perjalanan waktu kini tinggal 56 anak. Mereka berumur antara lima hingga sembilan tahun. Sekarang sudah ada yang hafal 27 juz, dan insya Allah akan mengadakan khataman pada tahun ini untuk beberapa murid yang sudah lulus hafal Al-Qur’an 30 juz.
Karena pondok pesantrennya ini sudah menunjukkan hasil, banyak orangtua yang berminat menitipkan anaknya di pondok ini. Namun, karena keterbatasan ruang dan guru, K.H. Anshari sebagai pengasuh sekaligus pengelola menunda dulu masuknya santri baru. Hingga tahun ini sudah ada sekitar 100 calon santri anak yang berstatus daftar tunggu.
Selain itu, K.H. Anshari juga aktif di Tarekat Tijaniyah dan membina zawiyah di Kalimantan, Bangka, dan Batam. Puluhan zawiyah dan ribuan ikhwan sudah dihimpunnya, sehingga muridnya tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Karena itu, oleh jama’ahnya di Sumatera, K.H. Anshari akrab disapa “Abuya”.
Dalam berdakwah di masyarakat, usaha biro perjalanan, dan aktif di Tarekat Tijaniyah, K.H. Anshari membagi waktunya dalam setahun menjadi tiga bulan di Banjarmasin, tiga bulan di Saudi, dan enam bulan mondar-mandiri di berbagai kota di Indonesia. Bahkan di Tarekat Tijani di Indonesia, perannya juga seperti menteri luar negeri, dialah yang menjadi penghubung antara para ulama Tijani di Timur Tengah maupun Afrika untuk datang ke Indonesia. Begitu juga sebaliknya, ia pula yang akan memfasilitasi para muqaddam maupun ikhwan yang ingin ke Timur Tengah atau Maroko, pusat Tarekat Tijaniyah di dunia.
Bunga Mawar
K.H. Anshari dikenal juga sebagai penulis buku-buku keagamaan. Hampir 14 buku telah terbit, berkisar tentang berbagai topik agama, seperti tuntunan shalat, tuntunan mencara rizqi, masalah Tarekat Tijaniyah, dan syarah tentang Maulid Burdah karya Imam Bushiri. Uniknya semua buku itu diterbitkan sendiri dan dibagikan secara gratis.
“Banyak orang yang ingin membeli, tetapi karena jumlahnya terbatas tidak terlayani. Sedang Abuya sendiri tidak ingin karyanya dikomersialkan, semata-mata untuk dakwah,” ujar Ustadz Haji Hasbi, adik sekaligus pembantu utamanya di pondok pesantren.
Bakat menulis K.H. Anshari sangat terpangaruh berbagai kitab ulama luar negeri maupun dalam negeri. Salah satunya adalah Hamka. “Beliau dapat memadukan keindahan sastra dan kedalaman ilmu, sehingga enak dan mudah dibaca untuk pembaca segala umur. Saya sejak muda sangat menggemari semua buku karya Hamka,” ujar K.H. Anshari.
Sedang kecintaannya kepada Maulid Burdah sudah terbangun sejak kecil, yaitu ketika ia mengalunkan syair-syair merdu Burdah itu di masjid bersama para jama’ah. Di Kalimantan Selatan, pembacaan Maulid Burdah masih berjalan di masjid pada malam tertentu hingga sekarang. Hatinya tergetar dan merasakan kehadiran Nabi Muhammad SAW di tengah jama’ah Burdah itu.
Rencananya, buku syarah Maulid Burdah K.H. Anshari, yang diberi judul Bunga Mawar, insya Allah akan ditulis dan diterbitkan sebanyak 162 jilid, yaitu sebanyak nazham syair di Maulid Burdah itu. Sekarang sudah terbit tiga jilid, syarah atas tiga syair pertama. Berikutnya, buku keempat sudah jadi tetapi belum dicetak, karena menunggu editing. “Semoga Allah memberikan saya umur panjang dan kekuatan untuk melaksanakan cita-cita itu,” tuturnya.
Kecintaannya kepada dunia penulisan membuat dirinya disiplin menyisakan waktu pada malam hari untuk menulis. Karena itu, pada malam-malam tertentu, ia menulis di muka rumahnya: permintaan maaf untuk tidak menerima tamu malam itu karena ia sedang sibuk menulis. Keluarga dan jama’ahnya tahu, dan memakluminya.