Biografi K.H. Ahmad Anshari Hasan Basri Al-Banjari

"Biografi K.H. Ahmad Anshari Hasan Basri Al-Banjari"

elzeno 6 menit baca
Biografi K.H. Ahmad Anshari Hasan Basri Al-Banjari

Menulis Syarah Burdah 162 Jilid

Ia seorang muqaddam Tarekat Tijaniyah yang mendirikan dan mengasuh lebih dari 60 zawiyah, pengasuh pondok pesantren, penulis buku agama, pengusaha, dan pendakwah.

Penampilannya selalu rapi dengan busana baju muslim serta peci putih di kepala dan bersarung. Dialah K.H. Ahmad Anshari bin Hasan Basri Al-Banjari. Pria kelahiran Banjarmasin pada 16 November 1956 ini dikenal sebagai pengusaha travel biro untuk pembe­rang­katan haji dan umrah. Dia juga seorang muqaddam tarekat Tijaniyah yang me­layani lebih dari 60 zawiyah di Kaliman­tan, Bangka, dan Batam.

Selain itu, K.H. Anshari, demikian ia akrab disapa jama’ahnya, juga dikenal sebagai pendakwah. Namun dakwah­nya sebatas sebagai menjadi khatib Jum’at, pengajian khusus, serta khutbah nikah. Sebab, ia lebih menitikberatkan mem­bina umatnya, ikhwan Tijaniyah, di Kalimantan Selatan, Kalimantan Te­ngah, Kalimantan Timur, Bangka-Beli­tung, dan Batam. Satu lagi, K.H. Anshari juga dikenal sebagai penulis buku-buku keagamaan yang andal.

Sukses yang dicapainya sekarang tidak lepas dari didikan orangtuanya, H. Hasan Basri. K.H. Anshari, sebagai anak pertama dari enam bersaudara, diharap­kan orangtuanya untuk menjadi pandu bagi adik-adiknya. Selain belajar mengaji kepada ayahnya, ia juga menjalani pen­didikan sekolah dasar di SDN Melati Banjarmasin. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di tsanawiyah Pondok Pesantren Darussalam, Martapura.

Ketika naik ke tingkat aliyah, ia ber­guru kepada almarhum Guru Sekumpul, atau akrab dipanggil “Guru Ijai”, kemudi­an belajar kitab hadits Al-Arba’in kepada K.H. Syarwani Zuhri, yang sekarang meng­asuh PP Albanjari di Balikpapan, juga kepada almarhun Tuan Guru Salim Ma’ruf, sebagai pemimpin PP Darus­salam waktu itu. Namun belum selesai pelajarannya, Ahmad Anshari keluar, ka­rena kekurangan biaya.

Ketika menganggur, Ahmad Anshari muda sempat ikut bekerja sebagai pen­dulang intan, dan pekerjaan kasar lain, sehingga pada suatu kali ada orang yang mengajaknya untuk bekerja di Makkah pada tahun 1975. Pikirnya, di Tanah Suci, selain bekerja, ia juga bisa belajar kepada para guru atau ulama di sana.

Pekerjaan pertama yang dilakukan­nya adalah sebagai penjaga Pom Ben­sin, dan berganti-ganti dengan pekerja­an kasar lainnya.

Hampir selama delapan tahun, ia be­kerja dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain. Dan sempat pula ia belajar di Madrasah Shaulatiyah setahun. Tetapi karena beratnya beban pekerjaannya, akhirnya aktivitas sekolahnya berhenti, dan meneruskan pelajarannya kepada beberapa guru dan ulama secara peng­gal waktu.

Setelah berganti-ganti pekerjaan, An­shari muda akhirnya mendapatkan pe­kerjaan yang cocok, yaitu sebagai pen­jaga toko Arloji, yang akhirnya oleh pemiliknya ia diserahi sekaligus sebagai manajernya. Di toko arloji inilah ia be­kerja hingga 13 tahun. Jadi sudah 20 tahun ia bekerja di Arab Saudi.

Di toko ini pula, banyak sekali kesem­patannya untuk belajar secara otodidak dengan membaca kitab-kitab kuning usai bekerja. Kadang ia juga belajar ke­pada berbagai ulama yang ada di Saudi, seperti Sayyid Muhammad Al-Maliki, Habib Salim bin Abdurrahman Assegaf, serta beberapa ulama Tijani, seperti Syaikh Idris bin Muhammad Abid Al-Iraqi dan Syaikh Hassan Az-Zakani. Ia ba­nyak sekali menerima ijazah atas buku-buku karya kedua ulama Tijani itu.

Di Saudi pula, Anshari mendapatkan jodohnya, yaitu Hajjah Risnawati binti Abdulmuthalib, yang waktu itu sedang melaksanakan ibadah haji bersama orang­tuanya. Mereka kini dikarunia sem­bilan anak. Yaitu Haji Muhammad Raihah (Jakarta), Haji Abdul Nasir (Banjarmasin), Haji Toha (Banjarmasin), Haji Muhammad Zaini (Al-Azhar Mesir), Hajjah Ruqayah (Banjarmasin), Haji Muhammad Taufiq (Banjarmasin), Haji Fathi (Banjarmasin), Haji Hatim (Banjar­masin), dan Maftuh Ahmad (Banjar­masin).

Sedang istri keduanya, Hajjah Mariatul Aslamiah binti Ali, belum punya anak.

Shalat di Dalam Ka’bah

Pada tahun 1988, K.H. Anshari pu­lang ke Indonesia, dan pada tahun itu juga ia ditalqin K.H. Badri Masduki dari Probolinggo menjadi ikhwan Tarekat Tijani.

Namun, beberapa tahun di Indonesia se­bagai pengusaha biro perjalanan haji dan umrah, ia seperti ada isyarat untuk kem­bali ke Saudi lagi. Akhirnya pada ta­hun 1990, ia kembali ke Saudi dan be­kerja di toko arloji itu.

Tahun itu pula, ia bertemu Syaikh Idris, ahli hadits asal Maroko, muqaddam Tarekat Tijani, dan kemudian ditalqin menjadi muqaddam Tijani.

Begitu juga ketika ia bertemu Syaikh Hassan Az-Zakani, ulama terkenal yang menjadi salah satu guru Sayyid Muham­mad Al-Maliki, seperti ada isyarat ter­tentu. Ia mendapatkan surat dari Syaikh Hassan Az-Zakani untuk bertemu di Makkah, sedang sebelumnya keduanya belum pernah bertemu dan berkenalan. Subhanallah, ketika keduanya bertemu, seperti teman lama yang lama berpisah. Di Baitullah, K.H. Anshari ditalqin kem­bali menjadi muqaddam oleh Syaikh Hassan Az-Zakani.

Sebetulnya, pada tahun 1991, K.H. Anshari sudah memutuskan untuk ber­henti dari kerjanya di Makkah serta pu­lang ke Indonesia, tetapi ia tidak diper­bolehkan oleh gurunya, Syaikh Idris. Pesannya, nanti akan ada isyarat kapan ia boleh pulang ke Indonesia.

K.H. Anshari mendirikan zawiyah dan majelis ilmu di kawasan Sulaimani­yah hingga 1995. Pada tahun 1995 itu juga, ia mendapat izin untuk pulang ke Indo­nesia. Bahkan, tidak tanggung-tang­gung, Syaikh Idris sendiri yang meng­antarnya sampai ke rumah di Banjar­masin. Sedang pada waktu itu, gajinya di toko arloji akan dinaikkan 100%. Na­mun iming-iming tidak menggoyah­kan­nya untuk mematuhi perintah gurunya pulang ke Indonesia. Tugas menjaga zawiyah diserahkan kepada K.H. Has­bullah Al-Banjari hingga saat ini.

Pada saat itu, bulan Agustus-Sep­tember 1995, Syaikh Idris sempat satu bulan di Indonesia, sehingga berhasil ber­temu para muqaddam dan ikhwan di berbagai kota di Indonesia. Syaikh Idris sempat menalqin ribuan orang Indonesia menjadi ikhwan atau muqaddam Tarekat Tijani.

K.H. Anshari merasa mendapatkan nikmat besar selama tinggal di Makkah, yaitu, ketika Baitullah direhab pada 1995, ia mendapat izin dari Kerajaan Saudi menjadi salah satu orang yang diperkenankan masuk ke dalam Ka’bah. “Di situ saya shalat sunnah empat raka­at, dan merasakan begitu dalam penga­laman ruhani yang sulit diceritakan dengan kata-kata,” ujarnya.

Pengasuh Pondok

Di Indonesia, K.H. Anshari mendiri­kan usaha biro perjalan dengan bendera “PT Bhuana Etam Lestari”, yang berala­mat di Jalan Simpang Tiga Cempaka Sari 19 RT 24 Banjarmasin 70117, yang ke­mudian berkembang lagi menjadi ”Muslimun Travel”, yang dijalankan anak-anaknya.

Salah satu hasil dari usahanya ini, ia mendirikan Yayasan Al-Anshari, yang hasilnya di antaranya adalah mendirikan Ma’had Al-Anshari, yaitu pondok pesan­tren untuk anak-anak balita khusus untuk menghafal Al-Qur’an. Di pondok ini para santri dididik di asrama dan dibiayai se­cara gratis, yaitu makan minum, pengi­napan, serta keperluan sekolah, hingga pakaian serta keperluan sehari-hari, se­perti susu dan perawatan kesehatan.

Ketika didirikan pada tahun 2009, ada sekitar 100 anak, tetapi dalam per­jalanan waktu kini tinggal 56 anak. Me­reka berumur antara lima hingga sembil­an tahun. Sekarang sudah ada yang ha­fal 27 juz, dan insya Allah akan menga­dakan khataman pada tahun ini untuk be­berapa murid yang sudah lulus hafal Al-Qur’an 30 juz.

Karena pondok pesantrennya ini su­dah menunjukkan hasil, banyak orang­tua yang berminat menitipkan anaknya di pondok ini. Namun, karena keter­ba­tasan ruang dan guru, K.H. Anshari se­bagai pengasuh sekaligus pengelola menunda dulu masuknya santri baru. Hingga tahun ini sudah ada sekitar 100 calon santri anak yang berstatus daftar tunggu.

Selain itu, K.H. Anshari juga aktif di Tarekat Tijaniyah dan membina zawiyah di Kalimantan, Bangka, dan Batam. Pu­luhan zawiyah dan ribuan ikhwan sudah dihimpunnya, sehingga muridnya terse­bar di berbagai daerah di Indonesia. Ka­rena itu, oleh jama’ahnya di Sumatera, K.H. Anshari akrab disapa “Abuya”.

Dalam berdakwah di masyarakat, usaha biro perjalanan, dan aktif di Tare­kat Tijaniyah, K.H. Anshari membagi wak­tunya dalam setahun menjadi tiga bulan di Banjarmasin, tiga bulan di Saudi, dan enam bulan mondar-man­diri di ber­bagai kota di Indonesia. Bahkan di Ta­rekat Tijani di Indonesia, perannya juga seperti menteri luar negeri, dialah yang menjadi penghubung antara para ulama Tijani di Timur Tengah maupun Afrika un­tuk datang ke Indonesia. Begitu juga sebaliknya, ia pula yang akan mem­fasili­tasi para muqaddam maupun ikhwan yang ingin ke Timur Tengah atau Maro­ko, pusat Tarekat Tijaniyah di dunia.

Bunga Mawar

K.H. Anshari dikenal juga sebagai penulis buku-buku keagamaan. Hampir 14 buku telah terbit, berkisar tentang ber­bagai topik agama, seperti tuntunan sha­lat, tuntunan mencara rizqi, masalah Ta­rekat Tijaniyah, dan syarah tentang Mau­lid Burdah karya Imam Bushiri. Uniknya semua buku itu diterbitkan sendiri dan dibagikan secara gratis.

“Banyak orang yang ingin membeli, tetapi karena jumlahnya terbatas tidak terlayani. Sedang Abuya sendiri tidak ingin karyanya dikomersialkan, semata-mata untuk dakwah,” ujar Ustadz Haji Hasbi, adik sekaligus pembantu utama­nya di pondok pesantren.

Bakat menulis K.H. Anshari sangat terpangaruh berbagai kitab ulama luar negeri maupun dalam negeri. Salah satunya adalah Hamka. “Beliau dapat memadukan keindahan sastra dan ke­dalaman ilmu, sehingga enak dan mu­dah dibaca untuk pembaca segala umur. Saya sejak muda sangat menggemari semua buku karya Hamka,” ujar K.H. Anshari.

Sedang kecintaannya kepada Maulid Burdah sudah terbangun sejak kecil, yaitu ketika ia mengalunkan syair-syair merdu Burdah itu di masjid bersama para jama’ah. Di Kalimantan Selatan, pem­bacaan Maulid Burdah masih berja­lan di masjid pada malam tertentu hingga sekarang. Hatinya tergetar dan merasa­kan kehadiran Nabi Muhammad SAW di tengah jama’ah Burdah itu.

Rencananya, buku syarah Maulid Burdah K.H. Anshari, yang diberi judul Bunga Mawar, insya Allah akan ditulis dan diterbitkan sebanyak 162 jilid, yaitu sebanyak nazham syair di Maulid Bur­dah itu. Sekarang sudah terbit tiga jilid, syarah atas tiga syair pertama. Berikut­nya, buku keempat sudah jadi tetapi be­lum dicetak, karena menunggu editing. “Semoga Allah memberikan saya umur pan­jang dan kekuatan untuk melaksana­kan cita-cita itu,” tuturnya.

Kecintaannya kepada dunia penulis­an membuat dirinya disiplin menyisakan waktu pada malam hari untuk menulis. Karena itu, pada malam-malam tertentu, ia menulis di muka rumahnya: permin­taan maaf untuk tidak menerima tamu ma­lam itu karena ia sedang sibuk menu­lis. Keluarga dan jama’ahnya tahu, dan memakluminya.

Sumber: Majalah Al Kisah
elzeno
elzeno Pengalaman adalah Guru Terbaik. Oleh sebab itu, kita pasti bisa kalau kita terbiasa. Bukan karena kita luar biasa. Setinggi apa belajar kita, tidahlah menjadi jaminan kepuasan jiwa, yang paling utama seberapa besar kita memberi manfaat kepada sesama.
Posting Komentar
Cari ...
Menu
Tampilan
Bagikan