Biografi Sayid Syarif Idrus Bin Abdurrahman Al Aydrus

"Biografi Sayid Syarif Idrus Bin Abdurrahman Al Aydrus"

elzeno 3 menit baca
Biografi Sayid Syarif Idrus Bin Abdurrahman Al Aydrus

Tuan Besar Raja Kubu Pertama

Sayidis Syarif Idrus bin Abdurrahman Al Aydrus lahir pada malam Kamis, 17 Ramadhan 1144 H (1732 M) di Kampung Ar-Raidhah, Trim (Hadramaut).

Menjelang usia 40 tahun, Beliau mendapatkan tugas dari guru dan abah (ayah)-nya untuk menyebarkan agama Islam.

Sebelum berangkat meninggalkan kampung halamannya, Beliau menunaikan Shalat Istikharah bermohon kepada Allah SWT agar maksudnya diberkahi oleh Allah SWT.

Didampingi oleh saudara-saudaranya, yakni Sayid Hamzah Albaraqbah, Sayid Ali As-Sahabuddin, dan Seikh Ahmad Faluga maka berlayarlah Beliau mengarungi samudera hingga tiba di Nusantara. Banyak negeri dan tempat yang telah dilalui dan disinggahi. Dalam perjalanannya, Beliau sempat singgah di Pulau Dabong untuk memperbaiki perahunya. Tidak ada riwayat yang menyebutkan berapa lama rombongan ini di pulau tersebut.

Beliau kemudian meneruskan perjalanan dan menyusuri Sungai Terentang. Sesampainya di daerah itu, Sayidis Syarif Idrus bin Abdurrahman Al Aydrus melihat beberapa kemungkinan yang baik, lalu berhasrat akan menetap dan membuka perkampungan. Untuk maksudnya itu, Beliau lalu memohon izin untuk mendapatkan tanah, yang kemudian permohonannya mendapat restu dari Sultan Ratu, Raja di Simpang (Matan).

Dari arah Pulau Dabong tersebut, terdapat tanjung yang memisahkan dua sungai, yakni Sungai Kapuas dan Sungai Terentang. Beliau kemudian menuju Sungai Terentang dan tiba di Kuala Batang (kelak tempat ini disebut dengan Kuala Kubu).

Di situlah akhirnya pada tahun 1768 M (1182 H) Beliau dibantu oleh suku Bugis dan Melayu membuka sebuah perkampungan. Di persimpangan tiga anak sungai tersebut dibuatlah benteng-benteng untuk mempertahankan diri dari serangan perompak (lanun atau bajak laut) yang di masa itu masih sangat merajalela.

Karena benteng-benteng tersebutlah, maka perkampungan ini akhirnya terkenal dengan nama Kubu. Sayidis Syarif Idrus bin Abdurrahman Al Aydrus memerintah dengan bijaksana yang dilandasi ajaran agama Islam. Karena itu, pada tahun 1775 M terjadilah migrasi besar-besaran, berdatanganlah penduduk dari daerah-daerah tetangga dan berpindah ke Kubu. Lalu, Kubu pun berkembang menjadi sebuah negeri. Sehubungan dengan telah berkembangnya Kubu menjadi sebuah negeri, maka pada tahun 1780 M dinobatkanlah secara resmi Sayidis Syarif Idrus bin Abdurrahman Al Aydrus menjadi Raja Kubu Pertama dengan gelar Tuan Besar Raja Kubu.

Dan pada tahun itu juga didirikan sebuah istana. (kelak kemudian pada bekas istana tersebut didirikan masjid raya, yang sekarang bernama Masjid Jami’ Khairussa’adah). Dalam mengendalikan pemerintahan, Beliau dibantu oleh Sayid Hamzah Al Baraqbah, Sayid Ali As-Shahabuddin, Seikh Ahmad Faluga, selaku menteri-menteri.

Dalam usaha memperluas negeri, dibuka lagi beberapa perkampungan antara lain di Sungai Radak dan Sungai Kemuning, yang sampai sekarang masih ada dan ditempati suku-suku Melayu dan Dayak.

Setelah kira-kira 14 tahun menjadi raja di Kubu, timbul perselisihan dengan Kerajaan Siak. Pokok persengketaan hanya disebabkan oleh sebuah meriam kecil yang bernama Tupai Beradu. Negeri Kubu diserang oleh orang-orang Siak dengan beberapa buah perahu, namun laskar Siak dapat dikalahkan dan dipukul mundur.

Setelah tujuh bulan peristiwa tersebut berlalu putra Beliau bernama Syarif Alwi yang selama ini bermukim di Jawa datang ke Kubu.

Dibentuklah sebuah pasukan yang dipimpin oleh Syarif Alwi untuk menyerang pertahanan orang Siak. Dalam pertempuran itu kemenangan berada di pihak Kubu kedudukan Siak dapat dilumpuhkan. Masih dalam suasana siap siaga kemungkinan serangan balik oleh orang-orang Siak, tiba-tiba Sayid Syarif Idrus Bin Abdurrahman Al Aydrus wafat.

Terbetik berita bahwa Beliau dibunuh oleh pelayannya sendiri menjelang shalat Subuh karena disangka oleh pelayan tersebut musuh yang menyelinap memasuki istana.

Beliau wafat pada hari Ahad, 26 Zulkaedah 1209 H (1794 M) dan dimakamkan di samping Masjid Jami Khairussa’adah.

http://aladamyarrantawie.blogspot.com/
http://www.facebook.com/Kisah.Para.DatudanUlama.Kalimantan
elzeno
elzeno Pengalaman adalah Guru Terbaik. Oleh sebab itu, kita pasti bisa kalau kita terbiasa. Bukan karena kita luar biasa. Setinggi apa belajar kita, tidahlah menjadi jaminan kepuasan jiwa, yang paling utama seberapa besar kita memberi manfaat kepada sesama.
Posting Komentar
Cari ...
Menu
Tampilan
Bagikan