Rabiah ar-Rayi - Tabiin Putra Farukh At-Taimi

"Biografi Rabiah ar-Rayi - Tabiin Putra Farukh At-Taimi"

elzeno 8 menit baca
Rabiah ar-Rayi - Tabiin Putra Farukh At-Taimi
Biografi Rabiah ar-Rayi - Tabiin Putra Farukh At-Taimi

Rabi’ah bin Farukh At-Taimi, Abu Utsman Al-Madani, Rabi'ah bin Abu Abdurrahman Farrukh at-Taimi al-Madani adalah salah seorang Tabi'in termuda dan ulama besar, hafalannya kuat, fakih, mujtahid (ahli ijtihad), cerdas, orang yang memiliki pemikiran yang tajam, dan pemberi fatwa kepada masyarakat Madinah. Rabi'ah berasal dari golongan mawla (hamba yang dibebaskan). Ayahnya Abu Abdurrahman Farrukh telah pergi berperang bersama pasukan Islam pada saat ia dilahirkan dan ia dibesarkan oleh ibunya di Madinah. Beliau termasuk penduduk Madinah yang banyak menggunakan kias dan logika dalam pemecahan masalah, ketika beliau tidak mendapatkan hadis yang sahih atau riwayat dari sahabat. Karena itulah, beliau mendapat gelar Rabi’ah Ar-Ra’yi, dan kata “Ar-Ra’yi” artinya akal dan logika.

Daftar Isi Artikel:

Ia banyak belajar dari beberapa Sahabat Nabi dan para Tabi'in senior. Beliau mendapat hadis dari para guru Rabi'ah antara lain Anas bin Malik, As-Saib bin Yazid, Hanzhalah bin Qais, Makhul asy-Syami, Salamah bin Dinar, Sa'id bin al-Musayyib, dan Al-Qasim bin Muhammad. Sedangkan para muridnya antara lain Malik bin Anas, Abu Hanifah Nu'man, Yahya bin Sa'id al-Anshari, Sufyan ats-Tsauri, Abdurrahman bin Amru al-Auza'i, Laits bin Sa'ad, Sulaiman bin Bilal, Isma'il bin Ja'far, Anas bin Iyadh dll. Imam Malik yang banyak berguru padanya pernah menyatakan, bahwa setelah Salim bin Abdullah dan Al-Qasim meninggal, permasalahan agama banyak dikembalikan kepada Rabi'ah. Rabi’ah meninggal dan dimakamkan di kota Hasyimiyyah negara bagian Al-Anbar di Irak pada tahun 139 H (753/4 M). Ketika Rabi’ah meninggal Imam Malik mengatakan, “Kelezatan fikih telah hilang sejak kematian Rabi’ah.”

Kisah Hidu Robiah ar-Royi

Farrukh pahlawan mukmin makin dalam hasratnya untuk dapat mati syahid. Beberapa bulan setelah keberangkatan Farrukh, istrinya yang bijaksana itu melahirkan seorang bayi laki-laki yang cakap dan berwajah tampan. Sang ibu menyambutnya dengan penuh bahagia hingga mampu mengalihkan perhatiannya yang telah sekian lama berpisah dengan suaminya. Bayi laki-laki itu diberi nama ar-Rabi’ah. Tanda-tanda ketangkasan telah nampak pada diri anak itu sejak kecil serta tanda-tanda kecerdasan pada perkataan dan tingkah lakunya. Oleh ibunya, ar-Rabi’ah diserahkan kepada guru-guru agar mendapatkan pendidikan dengan layak. Di samping itu, diundang pula pengajar dalam adab untuk mendidik budi pekertinya. Dalam waktu yang tidak begitu lama, kecerdasan ar-Rabi’ah berkembang begitu pesat. Pada mulanya mahir baca tulis, lalu hafal Kitabullah dan mampu membacanya dengan lantunan yang indah seperti tatkala dibaca oleh para sahabat terdahulu. Sesudah itu beliau mendalami hadis-hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari yang paling mudah, mempelajari bahasa Arab yang baik dan benar, juga mempelajari perkara-perkara agama yang wajib untuk diketahui.

Ibunda ar-Rabi’ah memberikan imbalan yang cukup dan hadiah-hadiah yang berharga kepada para guru putranya. Setiap kali nampak kemajuan pada diri ar-Rabi’ah, dia tambahkan pemberiannya. Dengan kesibukan tersebut sang ibu masih senantiasa menanti kedatangan ayah putranya yang pergi sudah begitu lama. Karena itulah dia berusaha keras mendidik putranya agar kelak bisa menjadi penyejuk pandangannya dan juga suaminya jika sewaktu-waktu suaminya datang. Namun ternyata Farrukh begitu lama tak kunjung datang, kemudian terdengarlah kabar burung dan isu yang bermacam-macam tentangnya. Ada yang mengatakan bahwa Farrukh ditawan musuh, ada pula yang mengatakan bahwa ia masih meneruskan jihadnya. Yang lain lagi berkata bahwa beliau telah mendapatkan syahid di medan perang seperti yang diidamkannya. Ummu ar-Rabi’ah menduga bahwa pendapat terakhirlah yang paling mungkin, mengingat berita tentang Farrukh terputus sama sekali. Beliau menjadi sedih, tetapi kemudian beliau kembalikan segala persoalan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Maha Pengasih dan Penyayang.

Ketika ar-Rabi’ah menginjak usia remaja dan hampir baligh, orang-orang menasihati ibunya, “Sekarang ar-Rabi’ah sudah dewasa. Sebaiknya dia tidak usah lagi belajar membaca dan menulis.” Ada pula yang usul, “Dia sudah mampu menghafal Alquran dan meriwayatkan hadis, lebih baik engkau suruh dia bekerja agar ia bisa mencari nafkah untuk dirinya sendiri dan juga dirimu.” Namun Ibunya berkata, “Aku memohon kepada Allah agar memilihkan baginya apa yang terbaik bagi dunia dan akhiratnya. Sesungguhnya ar-Rabi’ah memilih untuk terus menuntut ilmu, dia bertekad senantiasa belajar dan mengajar selama hidupnya.” Ar-Rabi’ah menapaki jalan hidup yang sudah digariskan atasnya dengan penuh semangat dan tak mau membuang waktu. Beliau rajin mendatangi halaqah-halaqah ilmu yang memenuhi Masjid Nabawi dengan membawa rasa haus akan sumber-sumber pengetahuan yang baik.

Beliau bersahabat baik dengan sisa-sisa sahabat utama, di antaranya Anas bin Malik, pembantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengenyam ilmu dari para tabi’in terkemuka seperti Said bin Musayyab, Makhul asy-Syami dan Salamah bin Dinar. Beliau terus belajar hingga larut malam, sampai lelah… kawan-kawannya menasihati agar dia menjaga dan menyayangi dirinya sendiri, namun dia berkata, “Aku mendengar dari orang-orang tua dan guru-guruku berkata, “Sesungguhnya ilmu tidak akan memberikan sebagian dari dirinya kepadamu kecuali jika kamu memberikan seluruh jiwamu untuk mendapatkannya.” Tak heran bila sebentar kemudian namanya sudah tersohor, menjadi tinggi pamornya, semakin banyak kawannya, dihargai oleh murid-muridnya, dan diunggulkan oleh kaumnya. Kehidupan ulama Madinah ini begitu cemerlang, dibagilah hari-harinya. Sebagian untuk keluarganya di rumah, sebagian lagi di masjid Nabawi menghadiri kajian ilmu dan halaqah-halaqah.

Kisah Kembalinya Farrukh dan Pertemuannya dengan ar-Rabi’ah - Di antara kisah yang cukup banyak beredar di berbagai media adalah kisah mengharukan tentang seorang tokoh Tabi’i bernama Rabi’ah al Ra’yi. Dalam kisah itu disebutkan bahwa beliau bertemu ayah beliau, Farrukh setelah terpisah selama 27 tahun. Saat pertemuan itu, sang ayah terkejut dan bangga karena ternyata beliau sudah menjadi Ulama besar di Madinah. Saat meninggalkan anaknya dulu, Farrukh meninggalkan uang 30 ribu dinar kepada istrinya. Rupanya, uang itu digunakan istrinya untuk membiayai pendidikan sang anak hingga berhasil menjadi seorang alim.

Rabi’ah al Ra’yi rahimahullah sebenarnya tokoh nyata. Beliau seorang alim besar dari kalangan Tabi’i dan salah satu guru Imam Malik rahimahullah. Rabi’ah rahimahullah bertemu dengan Anas bin Malik ra dan meriwayatkan hadits dari beliau. Akan tetapi, kisah pertemuan ini palsu. Berikut ini riwayat kisah pertemuan Rabi’ah rahimahullah dengan ayahnya Farukh ini, sekaligus komentar Imam Adz Dzahabi terhadapnya. Dalam kitab beliau Siyaru A’lam al Nubala, Imam Adz Dzahabi rahimahullah menyebutkan kisah ini dalam biografi Rabi’ah al Ra’yi, rahimahullah. Beberapa poin kisah dalam riwayat ini adalah sebagai berikut.

  1. Farukh meninggalkan uang 30 ribu dinar untuk istrinya, dan kata istrinya, semuanya telah habis untuk membiayai Rabi’ah.
  2. Meskipun masih muda dan baru berusia 27 tahun, Rabi’ah sudah menjadi tokoh rujukan bagi para Ulama besar dan sudah memimpin halaqah ilmu di masjid Nabawi.
  3. Ulama yang menjadi murid Rabi’ah dalam halaqah itu di antaranya : – Imam Malik bin Anas – Al Hasan bin Zaid – Ibnu Abi Ali al Lahbi – Al Musahiqi
  4. Dalam kisah ini disebutkan bahwa Rabi’ah mengenakan “thawilah” saat berada di Masjid Nabawi.

Komentar Imam Adz Dzahabi - Sebelum menyampaikan riwayat ini, Imam Adz Dzahabi sudah menyatakan bahwa isinya merupakan حكاية باطلة (hikayat yang batil). Setelah menyampaikan riwayat tersebut, Imam Adz Dzahabi berkomentar sebagai berikut. Dalam komentar beliau, Imam Adz Dzahabi mengingkari kesahihan riwayat ini karena enam alasan berikut.

  1. Jumlah uang belanja dalam kisah itu terlalu fantastis, 30 ribu dinar. Padahal, seribu dinar saja, atau bahkan 500 dinar saja pasti cukup untuk belanja 27 tahun.
  2. Tidak wajar seorang anak muda berusia 27 tahun sudah memiliki halaqah ilmu sendiri (tapi mohon maaf saya tidak paham apa yang beliau maksud dengan بل الدست لمثل سعيد بن المسيب، وعروة بن الزبير، ومشايخ ربيعة jadi tidak saya ulas.)
  3. Pada saat Rabi’ah masih berusia 27 tahun itu, Imam Malik belum dilahirkan atau masih bayi.
  4. Thawilah itu mulai dikenalkan ke publik oleh khalifah Al Mansur, dan waktu itu terjadi, Rabi’ah sudah wafat.
  5. Al Hasan bin Zaid tumbuh dewasa dan menjadi terkenal jauh setelah Rabi’ah.
  6. Kisah ini dalam isnadnya ada keterputusan.

Meski mengingkari kesahihan riwayat itu, Imam Adz Dzahabi menyatakan bahwa bisa jadi sebagian isinya memang benar terjadi. Demikian komentar Imam Adz Dzahabi.

Perbandingan dengan Sumber Lain

Mengenai jumlah uang belanja, tentu saja ini relatif. Dari keterangan Ibnu Katsir rahimahullah dalam Al Bidayah wan Nihayah dalam pembahasan sosok Umar bin Abdul Aziz rahimahullah sebagai berikut. Umar bin Abdul Aziz rahimahullah memberi uang sebanyak 100 dinar per tahun kepada orang yang menghabiskan waktunya di masjid Jami’ untuk belajar fiqih, mengajar, dan membaca Al Quran. Mengingat bahwa khalifah Umar bin Abdul Aziz rh begitu masyhur keadilannya, dan masa kekhalifahan beliau (99-101H) merupakan masa ketika Rabi’ah al Ra’yi masih hidup, serta subsidi ini dikhususkan bagi para penuntut dan penebar ilmu, dapat kita asumsikan bahwa 100 dinar itu nilai belanja setahun yang pertengahan, tidak terlalu banyak dan tidak terlalu sedikit. Dengan patokan belanja 100 dinar per tahun ini, dan dengan asumsi bahwa nilai dinar tidak mengalami perubahan signifikan karena berupa logam emas, keperluan belanja 27 tahun bagi penuntut ilmu seperti Rabi’ah rh dapat kita asumsikan sekitar 2700 dinar. Dari sini nampak bahwa belanja 30 ribu dinar sangat fantastis. Layak diragukan bahwa keluarga Ulama yang umumnya zuhud membelanjakan uang berlebihan.

Mengenai benar atau tidaknya pertemuan Rabi’ah dengan Farukh saat Rabi’ah berusia 27 tahun, dapat kita periksa dengan mempertimbangkan 3 fakta berikut:

  1. Anas bin Malik ra wafat tahun 93 H.
  2. Rabi’ah rh mendengar langsung hadits dari Anas bin Malik ra. Artinya, pasti Rabi’ah rh lahir sebelum 90 H. Atau kalau kita asumsikan bahwa seorang anak bisa mengingat hadits dengan baik umur 7 tahun, pasti beliau lahir sebelum 87 H.
  3. Imam Malik rh wafat tahun 179 H. Menurut Ibnu Katsir, beliau wafat dalam usia 85 tahun. Menurut al Waqidi, dalam usia 90 tahun. Berdasarkan pendapat Ibnu Katsir, berarti Imam Malik rh lahir tahun 94 H.

Dalam kisah itu disebutkan, saat Farukh datang, Imam Malik sudah menjadi tokoh Madinah, berarti beliau sudah cukup dewasa. Andaikata kita asumsikan bahwa Imam Malik saat itu berusia 25 tahun, maka berdasarkan fakta (3), kepulangan Farukh terjadi tahun 119 H. Kalau ini benar, karena saat pertemuan itu Rabi’ah rh berusia 27 tahun, maka Rabi’ah rh lahir tahun 92 H. Sayangnya, ini tidak sesuai dengan fakta (2).

Mengenai الطويلة, menurut Prof. Dr. Yahya Wuhaib al Juburi, الطويلة adalah salah satu jenis penutup kepala yang baru dikenal di zaman Dinasti Abbasiyah. Nama الطويلة sendiri dikenal di zaman khalifah Al Mustakfi Billah. Selain الطويلة dikenal juga التخفيفية، الدنية، الشاشية، dan الطرحة. Sebelumnya, pada masa dinasti Abbasiyyah jenis penutup kepala yang dikenal adalah العمامة atau surban. Para sejarawan sepakat bahwa Khilafah Bani Abbasiyah dimulai tahun 132H dengan naiknya Abul ‘Abbas as Saffah sebagai khalifah pertama. Sementara itu, Rabi’ah rh wafat tahun 136 H. Artinya, Rabi’ah rh mendapati masa Abbasiyyah di akhir hidup beliau. Andaikan saat itu beliau baru mengenal thawilah pun, usia beliau sudah jauh melampaui 27 tahun. Jadi, tidak mungkin pada saat berusia 27 tahun beliau sudah menenakan thawilah.

Mengenai isnad, Imam Adz Dzahabi tidak menyebutkan di bagian mana isnad kisah ini terputus. Secara eksplisit setiap rawi mulai dari Al Muslim bin Muhammad hingga Al Khaffaf menyatakan bertemu langsung dengan rawi sebelumnya dengan ungkapan (أنبأنا، حدثنا، حدثني). Hanya saja, rawi yang menghubungkan antara Al Khaffaf dengan Rabi’ah tidak jelas identitasnya karena hanya disebut “para syeikh penduduk Madinah” sehingga tidak dapat dipastikan apakah syaikh itu menyaksikan langsung kejadian ini atau tidak. Barangkali hal inilah yang dimaksud oleh Imam Adz Dzahabi bahwa dalam isnadnya ada keterputusan.

Dalam Wafayatul A’yan Ibnu Khallikan rahimahullah menyebutkan kisah ini juga tetapi dengan sanad yang singkat : “Berkata Abdul Wahhab bin ‘Atha al Khaffaf, telah menceritakan kepadaku para syaikh penduduk Madinah”. Tidak disebutkan di dalamnya bahwa Rabi’ah mengenakan الطويلة, tetapi disebutkan bahwa Rabi’ah mengenakan الدنية الطويلة atau tutup kepala yang panjang.

Dalam Shifatus Shafwah Ibnul Jauzi rahimahullah menceritakan kisah yang sama dengan kisah yang disebutkan dalam Siyaru A’lam an Nubala, hanya saja beliau menyingkat sanadnya dengan menyebut “Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Muhammad Al Qazzaz dengan isnad dari para syaikh penduduk Madinah”. Selain itu, tidak disebutkan bahwa Rabi’ah mengenakan Thawilah.

Dalam Hilyatul Auliya, Tadzkiratul Huffazh, dan Al Muntakhab min Dzail al Mudzayyal bagian biografi Rabi’ah al Ra’yi rh tidak saya temukan kisah ini. Kisah pertemuan Rabi’ah rh dengan ayahnya setelah 27 tahun ini disebutkan juga oleh Dr. ‘Aidh al Qarni dalam kumpulan kisah-kisah palsu.

Kesimpulan dan Saran

Kisah pertemuan Rabi’ah ar Ra’yi rh dengan ayahnya setelah berpisah 27 tahun ini berasal dari satu jalur riwayat, yaitu dari Abdul Wahhab bin ‘Atha al Khaffaf dari sebagian syaikh penduduk Madinah. Imam Adz Dzahabi rh dalam Siyaru A’lamin Nubala’ menyatakan bahwa kisah ini batil dan tidak masuk akal karena isinya bertentangan dengan fakta sejarah dan dalam isnadnya ada keterputusan. Dalam kitab-kitab tarikh dan sirah yang lain belum saya temukan kisah yang dari segi sanadnya ataupun isinya dapat menjadi argumen untuk membantah penilaian Imam adz Dzahabi itu. Sebaliknya, sebagian Ulama kontemporer mendukung penilaian Imam Adz Dzahabi tersebut. Alangkah baiknya, bila kisah ini tidak lagi disebarluaskan. Wallahu a’lam.

Referensi

[1] Adz Dzahabi, Syamsuddin bin Muhammad. Siyar A’lam al Nubala no.2062 hlm 1686. Baitul Afkar ad Dauliya http://ia600409.us.archive.org/11/items/waq105924/105924.pdf

[2] Ibnu Katsir, Isma’il bin Umar Abul Fida. Al Bidayah wan Nihayah hlm 1434. Baitul Afkar ad Dauliyah http://ia600408.us.archive.org/27/items/waq105942/105942.pdf

[3] Ibnu Katsir. Al Bidayah wan Nihayah, hlm.1385

[4] Al Asbahani, Abu Nu’aim Ahmad bin Abdullah. Hilyatul Auliya wa Thabaqatul Ashfiya. Juz ke-3 no 241 hlm. 259-266. Darul Fikr http://ia700800.us.archive.org/8/items/waq54172/03_54175.pdf

[5] Ibnu Katsir. Al Bidayah wan Nihayah, hlm.1544

[6] http://www.azzaman.com/2014/03/29 يحيى-وهيّب-الجبوري-يُخضع-الملابس-إلى-ا 7]

[7]Ibnu Khallikan, Syamsuddin Ahmad bin Muhammad. Wafayatul A’yan wa Anbai Abnaiz Zaman (Tahqiq Dr. Ihsan Abbas). Juz ke-2 no. 232 hlm. 288-290. Dar Shadir https://ia700707.us.archive.org/12/items/WAQ17074/02_17075.pdf

[8] Ibnul Jauzi, Abdurrahman bin Ali Jamaluddin Abul Faraj. Shifatus Shafwah no.183 hlm 348-349. Darul Kitab al ‘Arabi https://ia600603.us.archive.org/34/items/WAQ143742/143742.pdf.

[9]Adz Dzahabi, Syamsuddin bin Muhammad. Tadzkiratul Huffaz (Tahqiq Syaikh al Mu’allimy). no. 153 hlm 157-159. Dairatul Ma’arif al ‘Utsmaniyyah http://ia600402.us.archive.org/18/items/waq1331/1331.pdf

[10] Ath Thabari, Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jarir. Al Muntakhab min Dzailil Mudzayyal (tahqiq Muhammad Abul Fadhl Ibrahim) . hlm 650. https://ia902500.us.archive.org/21/items/WAQ17280/trm11.pdf

[11] http://audio.islamweb.net/audio/index.php?page=FullContent&audioid=19660

elzeno
elzeno Pengalaman adalah Guru Terbaik. Oleh sebab itu, kita pasti bisa kalau kita terbiasa. Bukan karena kita luar biasa. Setinggi apa belajar kita, tidahlah menjadi jaminan kepuasan jiwa, yang paling utama seberapa besar kita memberi manfaat kepada sesama.
Posting Komentar
Cari ...
Menu
Tampilan
Bagikan