Imam Al-Auzai - Imam Mazhab Fikih Auzai

"Imam Al-Auzai - Imam Mazhab Fikih Auzai"

elzeno 5 menit baca
Imam Al-Auzai - Imam Mazhab Fikih Auzai

Imam Al-Auza’i (88 H (706/707 M) – 157 H (773/774 M)) adalah ulama ahlussunnah dan eponim bagi mazhab fikih Auza'i. Nama lengkapnya adalah Abdurrahman bin Amr bin Yahya Al-Auza’i. Al-Auza’i adalah nisbah ke daerah Al-Auza’, salah satu wilayah di Damaskus. Menurut Adz-Dzahabi, dia adalah seorang "Syaikh Islam, 'alim wilayah Syam." Ulama besar negeri Syam di bidang hadits dan fiqih pada masa itu adalah Imam Al-Auza’i. Nama lengkapnya adalah Abu Amru Abdurrahman bin Amru bin Yuhmad Al-Auza’i. Ia dilahirkan pada zaman sahabat, tepatnya pada tahun 88 H. Ia terhitung angkatan ketujuh dari generasi Tabi’in. Dia bertempat-tinggal di Al-Auza', sebuah kampung kecil di daerah Bab al-Faradis, di dekat Damaskus, kemudian dia pindah ke Beirut, hingga dia meninggal di sana.

Dia dilahirkan pada tahun 88 H dan mengalami masa kanak-kanak dalam keadaan yatim. Ia melakukan perjalanan menuntut ilmu (rihlah) menuju Yamamah dan Bashrah. Tidak banyak karya pribadinya yang masih bertahan dan dapat ditemukan pada saat ini, meskipun begitu berbagai perkataannya masih dapat ditemui dari nukilan-nukilan yang terdapat pada kitab-kitab karya muridnya dan para ulama sesudahnya. Abu Zur’ah mengatakan tentangnya, “Pekerjaan dia adalah menulis dan membuat risalah. Risalah-risalah dia sangat menyentuh.” Ia begitu dihormati oleh Khalifah Al-Manshur dan pernah ditawari untuk menjadi hakim (Qadhi oleh Khalifah namun Al-Auza'i menolaknya. Di akhir hayatnya, ia berangkat ke Beirut untuk melaksanakan tugas ribath (menjaga daerah perbatasan) dan wafat di sana. Dikatakan Warisan yang ia tinggalkan hanya enam dinar yang merupakan sisa dari sedekah yang dia berikan.

Ia mengambil hadis dari Atha’ bin Abi Rabah, Qasim bin Makhimarah, Syaddad bin Abu Ammar, Rabi’ah bin Yazid, Az-Zuhri, Muhammad bin Ibrahim At-Taimi, Yahya bin Abi Katsir, dan sejumlah ulama dari kalangan tabiin lainnya. Ia juga dikatakan sempat mengambil hadis dari Muhammad bin Sirin. Sedangkan muridnya yang terkenal antara lain: Syu’bah, Ibnul Mubarak, Walid bin Muslim, Al-Haql bin Ziyad, Yahya bin Hamzah, Yahya Al-Qaththan, Muhammad bin Yusuf, Al-Faryabi, Abu Al-Mughirah, dan sejumlah ulama lainnya.
Al-Kharibi mengatakan, “Al-Auza’i adalah manusia terbaik di zamannya. Dia layak untuk mendapat jabatan khilafah.” Ibnu Mushir mengatakan dia menghidupi malamnya dengan salat dan mengaji Qur'an. Bisyr bin Mundzir mengatakan, “Saya melihat Al-Auza’i seperti orang buta, karena khusyuknya.”

Abdul Malik bin Muhammad mengatakan, "Tak sekalipun Al-Auza'i berbicara selekas Salat Subuh, hingga dia berdzikir kepada Allah. Kalau perkataannya cuma satu, dia akan menjawabnya."
Imam Al-Auza’i pada masa itu adalah seorang ulama besar di bidang fiqih dan hadits. Ia memiliki madzhab fiqih tersendiri, yaitu madzhab Al-Auza’i, yang berkembang luas di negeri Syam dan negeri Andalus. Dalam perkembangannya, penyebaran madzhab fiqih beliau kalah oleh madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali.
Sejarawan Islam, Muhammad bin Sa’ad, berkata tentang Al-Auza’I, “Ia adalah seorang yang ahli berbuat kebajikan, seorang tokoh mulia, orang yang terpercaya, lagi memiliki banyak ilmu, hadits, dan fiqih.”
Imam Malik bin Anas memuji Al-Auza’i dengan mengatakan, “Al-Auza’i adalah seorang imam yang menjadi teladan.”
Ulama hadits, Abdurrahman bin Mahdi, berkata, “Ulama besar umat Islam pada zamannya (generasi akhir tabi’in) adalah Hammad bin Zaid di kota Basrah, Sufyan At-Tsauri di kota Kufah, Malik bin Anas di negeri Hijaz, dan Al-Auza’i di negeri Syam.”

Setelah Daulah Abbasiyah tegak, khalifah pertamanya Abul Abbas As-Saffah mengangkat pamannya, yaitu Abdullah bin Ali, sebagai gubernur di Damaskus. Gubernur dan jendral perang yang sangat kejam itu ingin mendapatkan legalitas ulama atas berbagai kezaliman dan kekejaman yang ia lakukan di Damaskus dan negeri Syam lainnya. Untuk itu, ia memanggil ulama besar negeri Syam, Al-Auza’i, untuk menghadap. Tidak disangka, ternyata Al-Auza’i berani lantang menyuarakan kebenaran di hadapan Abdullah bin Ali, meskipun nyawanya menjadi taruhan atas keberaniannya tersebut. Al-Auza’i dengan tegas menyatakan kebatilan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Abdullah bin Ali.

Imam Al-Auza’i bercerita, “Setelah Abdullah bin Ali — paman As-Saffah— selesai membunuhi keluarga besar Banu Umayyah, ia memanggilku untuk menghadapnya, Pada hari itu saja ia membunuh lebih dari 70 orang, sebagiannya dibunuh dengan martil. Maka saya pun menemuinya. Abdullah bin Ali bertanya, “Apa pendapatmu tentang darah (nyawa) Bani Umayyah (yang kami bunuhi)?” Al-Auza’i mengelak untuk memberi jawaban. Namun Abdullah bin Ali mendesaknya, “Aku tahu engkau hendak mengelak dari arah mana. Maka jawablah sekarang juga!” Di dalam hatinya, Al-Auza’i mengatakan ‘Aku tidak pernah melihat orang yang lihai berbicara seperti dirinya’. Al-Auza’i lalu berkata kepada Abdullah bin Ali, “Mereka memiliki perjanjian dengan Anda.” Abdullah bin Ali menukas, “Kalau begitu, anggap saja antara kami dan mereka tidak ada perjanjian. Apa pendapatmu tentang menumpahkan darah mereka?”

Al-Auza’i dengan tegas menjawab, “Haram, berdasar sabda Nabi SAW: “Tidak halal darah (nyawa) seorang muslim yang bersaksi bahwasanya tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah dan bahwasanya aku adalah Rasul Allah, melainkan dengan salah satu dari tiga alasan; orang yang membunuh orang lain secara sengaja, orang yang telah menikah namun melakukan perzinaan, dan orang yang keluar dari agama Islam sehingga ia memisahkan dirinya dari jama’ah (kaum muslimin).” (HR. Bukhari no. 6878 dan Muslim no. 1676)

Abdullah bin Ali berkata, “Celakalah engkau! Kenapa haram? Bukankah kekhilafahan itu adalah wasiat dari Rasulullah SAW (untuk Bani Hasyim, pent)? Sampai Ali bin Abi Thalib berperang mempertahankannya dalam perang Shiffin?” Al-Auza’i menjawab dengan tegas, “Andaikata khilafah itu wasiat, sudah tentu Ali bin Abi Thalib tidak akan ridha dengan peristiwa tahkim (pengadilan arbitrasi antara Ali dan Mu’awiyah di Daumatul Jandal, pent).” Mendengar jawaban itu, Abdullah bin Ali menundukkan kepalanya sambil menahan marah. Al-Auza’i juga menundukkan kepalanya. Keadaan itu berlangsung cukup lama. Akhirnya Al-Auza’i berkata kepada Abdullah bin Ali, “Saya ingin kencing.” Abdullah bin Ali berkata, “Pergilah!” Sambil melangkah pergi, Al-Auza’i dalam hatinya berkata, “Tidaklah saya melangkahkan kakiku satu langkah pun, melainkan kepalaku akan dipenggal pada saat itu juga.” (Adz-Dzahabi, Siyar A’lam An-Nubala’, 7/123-124)

Dalam riwayat lain Al-Auza’i menceritakan, “Abdullah bin Ali memanggilku untuk menghadap. Panggilan itu sungguh sangat berat bagiku. Saya akhirnya dating menghadapnya. Saat itu pasukannya berbaris menjadi dua barisan. Abdullah bin Ali berkata, “Apa pendapatmu tentang apa yang kami lakukan?” Al-Auza’i berkata, “Semoga Allah memperbaiki keadaan Amir (gubernur, yaitu Abdullah bin Ali). Antara saya dan Daud bin Ali (saudara kandung Abdullah bin Ali) ada pertemanan yang akrab sejak lama.” Abdullah bin Ali berkata, “Beritahukanlah kepadaku pendapatmu!” Mendengar desakan keras tersebut, Al-Auza’i terpaksa harus berfikir ulang. Di dalam hatinya, Al-Auza’i lantas berkata, “Sungguh aku akan berkata sejujurnya kepadanya. Aku segera menyiapkan diriku dan aku yakin jika aku akan dibunuh karena jawabanku nanti.” Di hadapan Abdullah bin Ali, Al-Auza’i lantas meriwayatkan hadits dari jalur Yahya bin Sa’id yaitu hadits, “Sesungguhnya segala amalan itu tergantung niat.” Abdullah bin Ali tidak puas dengan jawaban itu. Saat itu ia memegang sebuah tombak yang ia hentak-hentakkan ke tanah. Ia bertanya lagi, “Wahai Abu Abdurrahman, apa pendapatmu tentang pembunuhan terhadap anggota keluarga (Bani Umayyah) ini?”

Al-Auza’i lantas meriwayatkan hadits dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda, “Tidak halal darah seorang muslim kecuali dengan salah satu dari tiga alasan…” Abdullah bin Ali bertanya lagi, “Beritahukanlah pendapatmu kepadaku tentang khilafah. Bukankah kekhilafahan itu adalah wasiat Rasulullah SAW untuk kami (Bani Hasyim, termasuk di dalamnya Bani Abbas, pent)?” Al-Auza’i menjawab, “Andaikata kekhilafahan itu wasiat dari Rasulullah SAW untuk kalian, tentulah Ali bin Abi Thalib RA tidak akan membiarkan seorang pun mendahului dirinya.” Abdullah bin Ali bertanya lagi, “Lalu, apa pendapatmu tentang harta Bani Umayyah?” Al-Auza’i berkata, “Seandainya harta tersebut adalah harta mereka yang halal, niscaya harta tersebut haram untuk Anda kuasai. Adapun jika harta tersebut adalah harta mereka yang haram, niscaya harta tersebut lebih haram lagi untuk Anda kuasai.” Abdullah bin Ali kemudian memerintahkan pengawalnya untuk mengeluarkan Al-Auza’i dari istana. (Adz-Dzahabi, Siyar A’lam An-Nubala’, 7/124-125)

Kesimpulan

Ulama hadits dan sejarawan Islam, Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad Adz-Dzahabi mengomentari pengalaman nyata Imam Al-Auza’i tersebut dengan mengatakan, “Abdullah bin Ali adalah seorang raja yang diktator, tukang menumpahkan darah, dan sangat kejam. Meskipun demikian, sebagaimana yang Anda lihat, Imam Al-Auza’i dengan tegas mengucapkan kalimat kebenaran di hadapannya sekalipun pahit rasanya. Tidak sebagaimana sekelompok ulama su’ yang membagus-baguskan tindakan kezaliman dan kekejaman para penguasa, memutar balikkan kebatilan para penguasa sebagai sebuah kebenaran —semoga Allah memerangi para ulama su’ tersebut—, atau diam tidak menyuarakan kebenaran padahal mereka memiliki kemampuan.” (Adz-Dzahabi, Siyar A’lam An-Nubala’, 7/126) Wallahu a’lam bish-shawab.

Referensi:

Ibnu Katsir, Al-Bidayah wan Nihayah, Jizah: Dar Hajar, cet. 1, 1419 H.
Ibnu Atsir Al-Jazari, Al-Kamil fit Tarikh, Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyyah, cet. 1, 1407 H.
Adz-Dzahabi, Siyar a’lam An-Nubala’, Beirut: Muassasah Ar-Risalah, cet. 2, 1402 H.
elzeno
elzeno Pengalaman adalah Guru Terbaik. Oleh sebab itu, kita pasti bisa kalau kita terbiasa. Bukan karena kita luar biasa. Setinggi apa belajar kita, tidahlah menjadi jaminan kepuasan jiwa, yang paling utama seberapa besar kita memberi manfaat kepada sesama.
Posting Komentar
Cari ...
Menu
Tampilan
Bagikan