Tsalabah bin Hathib Al Anshari Ahli Badar

"Tsa'labah bin Hathib Al Anshari Ahli Badar"

elzeno 4 menit baca
Tsa'labah bin Hathib Al Anshari Ahli Badar

Diceritakan : “Telah bercerita kepada kami Abu Yazid Al Qarathisy, bercerita kepada kami Asad bin Musa, bercerita kepada kami Al Walid bin Muslim, bercerita kepada kami Mu’aan bin Rifa’ah, dari Ali bin Yazid, dari Al Qasim, dari Abu Umamah, bahwa Tsa’labah bin Hathib Al Anshari mendatangi Nabi n dan berkata : “Ya Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar aku diberikan harta.” Lalu Rasulullah n bersabda: “Celaka engkau wahai Tsa’labah ! Sedikit yang engkau syukuri itu lebih baik dari harta banyak yang engkau tidak sanggup mensyukurinya.” Kemudian Tsa’labah kembali kepadanya, dan berkata: “Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar saya diberikan harta.” Nabi bersabda: “Apakah engkau tidak suka menjadi seperti Nabi Allah ? Demi yang diriku di tangan-Nya, seandainya aku mau gunung-gunung mengalirkan perak dan emas, niscaya akan mengalir untukku. ”

Kemudian ia (Tsa’labah) berkata: “Demi Dzat yang mengutusmu dengan benar, seandainya engkau meminta kepada Allah agar aku dikaruniai harta (yang banyak) sungguh aku akan memberikan haknya kepada yang berhak menerimanya.”
Lalu Rasulullah n berdo’a: “Ya Allah, berikankanlah harta kepada Tsa’labah.” Kemudian ia mendapatkan seekor kambing, lalu kambing itu tumbuh beranak, sebagaimana tumbuhnya ulat. Kota Madinah terasa sempit baginya.
Sesudah itu, Tsa’labah menjauh dari Madinah dan tinggal di satu lembah. Karena kesibukannya, ia hanya berjama’ah pada shalat zhuhur dan ‘ashar saja, dan tidak pada shalat-shalat lainnya. Kemudian kambing itu semakin banyak, maka mulailah ia meninggalkan shalat berjama’ah sampai shalat Jum’at juga ia tinggalkan.

Suatu saat Rasulullah n bertanya kepada para Shahabat: “Apa yang dilakukan Tsa’labah?” Mereka menjawab: “Ia mendapatkan seekor kambing, lalu kambingnya bertambah banyak sehingga kota Madinah terasa sempit baginya.”
Maka Rasulullah n mengutus dua orang untuk mengambil zakatnya seraya bersabda: “Pergilah kalian ke tempat Tsa’labah dan tempat fulan dari Bani Sulaiman, ambillah zakat mereka berdua.” Lalu keduanya pergi mendatangi Tsa’labah untuk meminta zakatnya. Sesampainya disana dibacakan surat dari Rasulullah n. Dengan serta merta Tsa’labah berkata: “Apakah yang kalian minta dari saya ini, pajak atau semisalnya? Aku tidak mengerti apa sebenarnya yang kalian minta ini!”

Lalu keduanya pulang dan menghadap Rasulullah n. Tatkala beliau melihat kedua-nya (pulang tidak membawa hasil), sebelum mereka berbicara, beliau bersabda: “Celaka engkau, wahai Tsa’labah! Lalu turun ayat :“Dan di antara mereka ada yang telah berikrar kepada Allah: ‘Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang shalih.’ Maka, setelah Allah mem-berikan kepada mereka sebahagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran).” (QS. At Taubah : 75-76)
Setelah ayat ini turun, Tsa’labah datang kepada Nabi n, ia mohon agar diterima zakatnya. Beliau langsung menjawab: “Allah telah melarangku menerima zakatmu.” Hingga Rasul n wafat, beliau tidak mau menerima sedikit pun dari zakatnya. Dan Abu Bakar, ‘Umar, serta ‘Utsman pun tidak menerima zakatnya di masa kekhilafahan mereka. Tsa’labah wafat pada masa kekhilafahan Utsman bin ‘Affan.

Takhrij hadits

Kisah diatas diriwayatkan oleh : Ibnu Jarir dalam Jami’ul Bayaan (VI/425 no. 17002), ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir (VIII/218-219, no. 7873), ad-Dailamy, Ibnu Hazm dalam al-Muhalla (XI/208) dan al-Wahidi dalam Asbaabun Nuzul (hal. 257-259).
Kisah ini tidak sah dari Nabi n. Karena hadits ini lemah sekali. Sebabnya karena ia diriwayatkan oleh beberapa rawi yang dhaif, yakni:

1. Mu’aan bin Rifa’ah As Sulami
Mayoritas imam jarh wa ta’dil mendhaifkannya. Yahya mengatakan : dhaif. Ar Razi dan As Sa’di mengatakan: laisa bihujjah (bukan hujjah). Ibnu Hibban mengatakan: “haditsnya tidak serupa dengan hadits-hadits yang kuat maka mesti ditinggalkan.” Al Azdi mengatakan: “haditsnya tidak bisa dijadikan hujjah.” (Imam Ibnul Jauzi, Adh Dhu’afa wal Matrukin, No. 3353. Lihat juga Imam Ibnu Hibban, Al Majruhin, 3/36)
Al Jauzajaani mengatakan: bukan hujjah. Ya’qub bin Sufyan mengatakan: layyinul hadits – lemah haditsnya. Imam Ibnu Hibban mengatakan: munkarul hadits. Ibnu ‘Adi mengatakan: “kebanyakan hadits darinya tidak bisa diikuti.” (Imam Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, 10/182)
Imam Ibnu Hajar mengatakan: “Saya telah membaca tulisan Adz Dzahabi, bahwa Mu’aan wafat sekitar bersamaan dengan Al Auza’i, dan dia (Mu’aan) adalah pemilik hadits yang tidak teliti (mutqin).” (Ibid. Lihat juga Imam Adz Dzahabi, Mizanul I’tidal, No. 8619)

2. Ali bin Yazid Abu Abdul Malik
Imam An Nasa’i mengatakan: matrul hadits – haditsnya ditinggalkan. Imam Bukhari mengatakan: munkarul hadits – haditsnya munkar. (Imam Al Muqrizi, Al Mukhtashar Al Kamil fi Adh Dhuafa, No. 1338, Lihat juga Al ‘Uqaili dalam Adh Dhuafa, No. 1259)
Imam Ad Daruquthni memasukannya dalam kitabnya Adh Dhuafa wa Matrukin. (No. 408), selain itu beliau juga didhaifkan oleh Imam Ahmad, Imam Abu Hatim, dan Imam Abu Zur’ah. (Imam Abdurrahman bin Abi Hatim, Al Jarh wa At Ta’dil, No. 1142)
Imam Ibnu Hazm mengatakan: “Mu’aan bin Rifa’ah, Al Qasim bin Abdurrahman, dan Ali bin Yazid, semuanya adalah dhaif.” (Al Muhalla, 11/208)

Perkataan ulama dalam menghukumi hadits ini

Imam Ibnu Hazm mengatakan: “hadits ini batil, karena Tsa’labah adalah salah seorang sahabat yang dikenal sebagai ahlu Badar. ” (Al Muhalla, 11/208)
Syaikh Ali Hasyisy mengatakan dhaif jiddan. (Lihat Silsilah Al Ahadits Al Wahiyah, Hal. 248, No. 158).
Imam Ibnu Hajar mengatakan: “lemah sekali.” (Takhrij Ahadits Al Kasyaaf, Hal. 77), juga didhaifkan oleh Imam As Suyuthi. (Asbabun Nuzul, Hal. 121), Imam Al ‘Iraqi. (Takhrij Ahadits Al Ihya’, 3/338), Imam Al Qurthubi. (Al Jami’ Li Ahkamil Quran, 8/210)

Penutup

Kisah tentang Tsa’labah ini selain dhaif riwayatnya, tapi juga buruk secara makna, hendaknya kita jangan menceritakannya karena dapat menjatuhkan kita kepada dosa :

Pertama : Kita berdusta atas nama Rasulullah n :
Rasulullah n bersabda : “Janganlah kalian berdusta atas namaku. Sungguh, orang yang berdusta atas namaku hendaklah ia masuk Neraka.” (HR. Bukhari)
Kemudian riwayat ini juga mengandung makna bahwa Rasulullah n tidak memaafkan Tsa’labah sampai dirinya wafat. Ini jelas bertentangan dengan akhlak Beliau yang asyidda’u ‘alal kuffar wa ruhama’u bainahum – keras terhadap orang kafir dan berkasih sayang terhadap mereka (orang-orang mukmin/para sahabatnya).

Kedua : Kita menuduh seorang Shahabat ahli Surga dengan tuduhan yang buruk.
Di antara keyakinan pokok aqidah ahlussunnah adalah kewajiban menghormati dan memuliakan para sahabat nabi radhiyallahu’anhum jami’an. Termasuk dalam pengertian ini adalah menjauhi segala bentuk perkataan yang bisa merendahkan mereka.
Yang dikisahkan dalam kisah diatas adalah salah satu sahabat nabi yang mulia, bernama Tsa’labah bin Haathib seorang Ahli Badar dan golongan Anshar, tetapi diburukkan citranya sebagai sosok yang durhaka. Hal ini merupakan tuduhan yang berat. Padahal Ahli Badar telah Allah Ta’ala maafkan dan diampuni dosa-dosanya, dan dijamin masuk surga, sebagaimana diriwayatkan oleh hadits-hadits shahih.

Ketiga : Mensifati Allah dengan sifat bukan pengampun.
Selain itu, riwayat ini menunjukkan bahwa Allah Ta’ala menolak amal shalih dan permohonan ampun hambaNya. Bukankah ini bertentangan dengan sifat Allah Ta’ala sebagai Al Ghafur (Maha Pengampun) dan Ar Rahim (Maha Penyayang). Padahal bisa dikatakan, seandainya benar kisah tersebut, kesalahanTsa’labah tidak bisa dikategorikan sebagai pelanggaran berat dalam syari’at.
Maka sekali lagi, hendaknya kita hati-hati terhadap kisah ini, sebab akan membawa dampak pembunuhan karakter terhadap sahabat Nabi n, dan itu pun menjadi dusta atas nama sahabat nabi dan merupakan celaan terhadap mereka. Dan, mencela sahabat nabi tidaklah sama dengan mencela manusia kebanyakan. Rasulullah n bersabda : “ Barangsiapa mencela Shahabatku, maka ia mendapat laknat dari Allah, Malaikat dan seluruh manusia.” (HR. Ath-Thabrani ).Wal ‘Iyadzu billah. Wallahu A’lam
elzeno
elzeno Pengalaman adalah Guru Terbaik. Oleh sebab itu, kita pasti bisa kalau kita terbiasa. Bukan karena kita luar biasa. Setinggi apa belajar kita, tidahlah menjadi jaminan kepuasan jiwa, yang paling utama seberapa besar kita memberi manfaat kepada sesama.
Posting Komentar
Cari ...
Menu
Tampilan
Bagikan