Imam Ibnu Mandah - Al-Jawwal Thalabil Ilmi

"Imam Ibnu Mandah - Al-Jawwal Thalabil Ilmi"

elzeno 3 menit baca
Imam Ibnu Mandah - Al-Jawwal fi Thalabil Ilmi
Ibnu Mandah atau Muhammad bin Ishâq bin Muhammad bin Yahya bin Mandah Abu ‘Abdillâh al-‘Abdi al-Ashbahâni al-Hâfizh lahir dari keluarga ilmu. Sang ayah berjuluk al-muhaddits (ahli hadits), sementara sang kakek Muhammad bin Yahya bergelar al-hâfizh. Maka, tidak salah bila disebut Imam Ibnu Mandah sosok ahli hadits dari putra ahli hadits dari keturunan ahli hadits. Mandah adalah sebutan bagi Ibrâhîm bin al-Walîd bin Sandah bin Buththah bin Ustandâr. Dan nama Ustandar ialah Fairuzân, memeluk Islam saat para Sahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuka Ashbahân. Dan wala`-nya kepada ‘Abdul Qais.

Selain berasal dari keluarga ahli ilmu, Imam Ibnu Mandah rahimahullah juga terlahir di negeri yang banyak melahirkan Ulama pada waktu itu, Asbahân pada tahun 311 H. Imam Ibnu Mandah rahimahullah berguru dahulu kepada sang ayah dan paman ayahnya, ‘Abdur Rahmân bin Yahya bin Mandah rahimahullah. Keluarga banyak berperan dalam pembentukan karakter Ibnu Mandah sebagai orang yang mencintai ilmu. Atas perhatian sang ayah dan keluarga, Imam Ibnu Mandah juga meriwayatkan hadits-hadits dari beberapa guru dari jalur ijâzah dari Imam ‘Abdur Rahmân bin Abi Hâtim, Abul ‘Abbâs bin ‘Uqdah, Al-Fadhl bin Al-Hashîb dan sejumlah Ulama lainnya.

Imam adz-Dzahabi rahimahullah dalam Siyarnya memberinya julukan al-jawwâl di belakang namanya. Maksud julukan tersebut adalah seseorang yang banyak melakukan perjalanan jauh menuju negeri-negeri yang berbeda-beda. Dalam hal ini, Imam Ibnu Mandah rahimahullah menempuh perjalanan jauh tersebut menuju berbagai kota dalam rangka mencari ilmu. Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Beliau (Ibnu Mandah) telah bepergian ke tempat-tempat yang banyak (untuk thalabil ilmi). Jumlah guru sebanyak itu beliau temui dalam rihlah yang beliau tempuh menuju berbagai kota Islam masa itu menjadi bukti betapa banyak kota yang beliau kunjungi untuk tujuan mulia tersebut, thalabul ‘ilmi. Tidak ada orang yang menandingi Imam Ibnu Mandah dalam masalah ini.

Imam Ibnu Mandah rahimahullah yang dilahirkan di Ashbahan, dalam thalabil ilmi, menempuh perjalanan ke berbagai kota. Naisabur adalah kota pertama yang beliau datangi saat masih berusia 19 tahun. Kota-kota lainnya, Makkah, Madinah di Hijaz, Gazza, Homs, Damaskus, Baitul Maqdis, Tinnis, Sarkhas, Mesir, Bukhara, Baghdad dan lainnya. Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata, “Saya tidak mengetahui seseorang melalukan rihlah (perjalanan) dengan sangat banyak daripada Ibnu Mandah rahimahullah , dan tidak ada yang lebih banyak haditsnya disertai hafalan kuat dan ketsiqahannya melebihi Ibnu Mandah. Telah sampai kepada kami berita bahwa jumlah gurunya seribu tujuh orang”.

Petualangan ke berbagai kota tersebut, membutuhkan 30 tahun lebih dari usia Imam Ibnu Mandah rahimahullah. Waktu yang sangat lama untuk thalabil ‘ilmi. Maka, sangat logis bila jumlah guru Imam Ibnu Mandah rahimahullah sebanyak seribu tujuh ratus orang, sebagaimana yang beliau katakan sendiri. Dari seribu tujuh ratus guru, ada sejumlah guru Imam Ibnu Mandah rahimahullah yang memiliki kedudukan tinggi dalam keilmuan mereka. Imam Ibnu Mandah rahimahullah telah memperoleh kesempatan mengambil ilmu dari imam-imam para huffâzh, seperti Imam Abu Hâtim Ibnu Hibbân, Abu Ali An-Naisâburi, Ath-Thabrâni dan lain-lain.

Imam adz-Dzahabi rahimahullah menyebutkan banyak nama yang berguru kepada Imam Ibnu Mandah rahimahullah. Di antara nama-nama itu adalah Abu asy-Syaikh, Abu ‘Abdillâh al-Hâkim, Abu Nu’aim Al-Ashbahâni, Abu ‘Abdillâh Ghunjâr, Abu Sa’d al-Idrîsi, Tamâm ar-Râzi, Ahmad bin Al-Fadhl al-Bathirqâni dan lain-lain. “Aku telah menulis (hadits) dari seribu tujuh ratus syaikh. Dan aku telah berkeliling ke Timur dan Barat dua kali, namun aku tidak pernah mendekat ke orang yang punya keyakinan meragukan dan aku tidak mau mendengar dari ahli bid’ah, walau satu hadits pun”.

Prinsip di atas prinsip yang sangat penting bagi umat Islam untuk menjaga keselamatan aqidah dan pandangan agamanya, sehingga tetap berada di atas mahajjah baidhâ (jalan yang lurus lagi terang) dalam memahami dan menjalankan Islam. Imam Ibnu Mandah Rahimahullah Menyanggah Golongan Dan Pemikiran Sesat. Dalam bidang ini, Imam Ibnu Mandah rahimahullahelah mewariskan karya-karya ilmiyah sebagai pegangan dan rujukan umat dalam menjaga aqidah Islam dan mengkoreksi penyimpangan-penyimpangan. Beliau menulis kitab at-Tauhîd, ar-Raddu ‘alal Jahmiyyah dan ar-Raddhu ‘alal Lafhzhiyyah. Selain itu, Imam Ibnu Mandah rahimahullah dan kitab al-ÃŽmânuntuk menyanggah ideologi Murji`ah dan Khawarij.

Muhammad bin Ishaq. Beliau adalah al-Imam al-Hafizh, Sang pengembara yang mencari ilmu ke berbagai negara, seorang pakar hadits Islam Abu Abdillah Muhammad, putra seorang ahli hadits yang bernama Abu Ya’qub Ishaq bin al-Hafizh Abu Abdillah Muhammad bin Yahya bin Mandah. Nama asli Mandah adalah Ibrahim bin al-Walid bin Sandah, berasal dari Ashfahan (disebut juga Isfahan atau Ashbahan, 300km dari Teheran, Iran). Imam Ibnu Mandah al-Hâfih wafat pada usia 84 tahun pada tahun 395 H. Semoga Allâh Azza wa Jalla merihmati beliau dengan rahmat yang luas dan menjadikan semangat Ibnu Mandah dalam thalabul ilmi sebagai inspirasi umat Islam sekarang.

Ibnu Mandah wafat pada tahun 395 H. Sebagaimana penjelasan Imam adz-Dzahabi dalam kitabnya; Siyar A’lam an-Nubala’, Tadzkiratul Huffazh, dan Mizanul I’tidal. Demikian pula penjelasan al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitabnya Lisanul Mizan. Keterangan Ibnu Abi Ya’la dalam kitabnya Thabaqat al-Hanabilah, Ibnul ‘Imad dalam Syadzarat adz-Dzahab. Dan keterangan Ibnu Taghri Bardi dalam an-Nujum az-Zahirah. Dan inilah pendapat Abu Nu’aim dalam Tarikh Ashbahan.

Sementara para ulama yang lain berpendapat bahwa Ibnu Mandah wafat pada tahun 396 H. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Ibnul Jauzi dalam al-Muntazham, Imam Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa an-Nihayah, Imam Ibnul Atsir dalam al-Kamil, dan ash-Shofadi dalam al-Wafi bil Wafayat. Dan ini adalah pendapat al-Hakim an-Naisaburi. Kedua pendapat ini dibawakan oleh Imam Ibnu ‘Asakir dalam kitabnya Tarikh Damaskus.

Pen-tahqiq Kitab at-Tauhid karya Ibnu Mandah menjelaskan bahwa pendapat yang lebih kuat adalah pendapat Abu Nu’aim. Karena Abu Nu’aim dan Ibnu Mandah tinggal di negeri yang sama. Terlebih lagi antara keduanya telah terjadi permasalahan; suatu sebab yang boleh jadi menjadi pendorong untuk mengikuti berita-berita tentangnya. Selain itu, Abu Nu’aim juga membawakan tambahan ilmu (ziyadah). Sementara sebagaimana dimaklumi di kalangan para ulama hadits bahwa ziyadatu tsiqah -tambahan keterangan dari perawi yang terpercaya- itu diterima. - Wallâhu a’lam.
elzeno
elzeno Pengalaman adalah Guru Terbaik. Oleh sebab itu, kita pasti bisa kalau kita terbiasa. Bukan karena kita luar biasa. Setinggi apa belajar kita, tidahlah menjadi jaminan kepuasan jiwa, yang paling utama seberapa besar kita memberi manfaat kepada sesama.
Posting Komentar
Cari ...
Menu
Tampilan
Bagikan