Yahya bin Said Al-Qaththan At-Tamimi al-Ahwal

"Yahya bin Said Al-Qaththan At-Tamimi al-Ahwal"

elzeno 2 menit baca
Yahya bin Said Al-Qaththan At-Tamimi al-Ahwal

Yahya bin Said Al-Qaththan dilahirkan pada awal tahun 120 H (ada yang menyebutkan 127 H) adalah seorang ulama dari kalangan Tabi’it Tabi’in. Nama sebenarnya adalah Abu Sa’id Al-Bashari Yahya bin Said bin Farraukh Al-Qaththan At-Tamimi al-Ahwal Al-Hafizh, ada yang menggatakan bahwa beliau adalah bekas budak bani (suku) Tamim, dan dan yang mengatakan bahwa beliau tidak mempunyai majikan (bukan seorang budak). Ia menerima hadits dari Yahya bin Sa’id al-Anshary, Ibnu Juraij, Sa;id bin Arubah, ats Tsaury, Ibnu Uyainah, Malik, Syu’bah dan lain lainnya. Diantara murid murinya adalah Ahmad bin Hambal, Yahya bin Ma’in, Ali bin al-Madainy, Ishaq bin Rahawaih, Ibnu Mandie, Abu Ubaid al-Qasim bin Salam dan lain lainnya. Para ulama sepakat mengatakan bahwa ia ulama besar di bidang hadits, kuat hapalannya, luas ilmunya serta dikenal dengan orang yang shalih, Hal ini diakui kebanyakan ulama hadits.

Diantara sifat beliau adalah seperti apa yang dikatakan oeleh cucunya, Ahmad bin Muhammad bin Yahyah Al-Qaththan: “Kakekku tidak pernah bergurau dan tertawa, dia hanya tersenyum, dan tidaklah beliau masuk kedalam kamar mandi kecuali menggunakan sandal”. Ishaq bin Ibrahim Asy-Syahidi berkata: “Aku pernah melihat Yahya Al-Qaththan setelah shalat asar, beliau bersandar di bawah menara masjid, sementara di depan beliau telah berdiri Ali bin Al-Madini, Asy-Syadzkuni, Amr bin Ali, Ahmad bin Hambal, Yahya bin Ma’in, dan selain mereka. Sambil berdiri mereka menanyainya tentang hadits, itu berlangsung hingga tiba waktu magrib, beliau tidak menyuruh salah seorangpun dari mereka untuk duduk, dan tidak ada satupun dari mereka yang duduk, ini sebagai penghormatan kepada beliau”. Yahya bin Sa’id Al-Qaththan wafat 198 H sebagai Atba’ Tabi’it Tabi’in atau Setelah para tabi’ut tabi’in.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Ahmad bin Hambal, ia berkata: “Yahya Al-Qaththan telah meriwayatkan hadits kepadaku, sungguh kedua mataku belum pernah melihat orang sepertinya”. Diriwayatkan dari Basyar Ath-Thaliqani, ia berkata: “Aku pernah mendengar Ahmad bin Hambal berkata: “Bahwa Yahya bin Sa’id adalah orang yang paling tetap pendiriannya”. Imam Ahmad juga berkata: “Aku belum pernah menulis (hadits) dari orang semisal Yahya bin Sa’id”. Ahmad bin Abdillah Al-‘Ajali berkata: “Yahya bin Sa’id membersihkan hadits (yang shahih dari yang dha’if), dia tidak meriwayatkan kecuali dari orang yang tsiqah (terpercaya)”.

Diriwayatkan dari Yabin Ma’in, ia berkata: “Selama dua puluh tahun Yahya bin Sa’id menghatamkan Al-Qur an pada setiap malamnya, dan selama empat puluh tahun ia tidak pernah terlewatkan waktu zawalpun (waktu shalat dhuhur) kecuali ia berada di majid, yang tidak lain bertujuan untuk menunaikan shalat berjama’ah”. Diriwayatkan dari Amr bin Ali, ia berkata: “Yahya bin Sa’id menghatamkan Al-Qur an setiap sehari-semalam, dan ia berdoa untuk seribu orang, kemudia ia keluar setelah shalat Asar untuk mengajarkan hadits kepada manusia”.

Amr bin Ali berkata: “Aku berdoa untuk Yahya di saat sakitnya sebelum meninggal: Semoga Allah memberikan kesehatan untukmu”, lalu ia berkata: “Sesuatu yang aku cintai adalah cinta kerena Allah”. Muhammad bin Abdillah bin Amr berkata bahwa Yahya bin Sa’id pernah berkata: “Jangan kalian memperhatikan hadits sebelum melihat pada sanad hadits tersebut, Apabila sanadnya shahih maka ambilah hadits tersebut, namun jika sanadnya tidak shahih maka janganlah kalian terperdaya pada suatu hadits yang sanad tidak shahih”. Syadza bin Yahya mengatakan bahwa Yahya bin Sa’id Al-Qaththan berkata: “Demi Allah yang tidak ada tuhan selain dia, barangsiapa yang mengira Dialah Allah yang maha esa, adalah mahluk maka orang tersebut adalah zindik”

Beliau wafat pada tahu 198 H. Adz-Dzahabi berkata: “Para Ulama berkata bahwa Yahya bin Sa’id meninggal pada bulan shafar tahun 198 H, terpaut empat bulan lebih dari meninggalnya Ibnu Mahdi dan Sufyan bin Uyainah”.
elzeno
elzeno Pengalaman adalah Guru Terbaik. Oleh sebab itu, kita pasti bisa kalau kita terbiasa. Bukan karena kita luar biasa. Setinggi apa belajar kita, tidahlah menjadi jaminan kepuasan jiwa, yang paling utama seberapa besar kita memberi manfaat kepada sesama.
Posting Komentar
Cari ...
Menu
Tampilan
Bagikan